BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akad mudharabah merupakan salah satu
produk pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syari’ah. Seperti yang
disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syari’ah (selanjutnya disebut UUPS). Pasal 19 UUPS menyebutkan, bahwa salah
satu akad pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad mudharabah.
Selain itu bank Indonesisa juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor, 10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah, juga menyebutkan
mudharabah adalah salah satu akad pembiayaan yang ada didalam perbankan
syari’ah.
Akad Mudharabah adalah akad antara
pemilik modal dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan
diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan
mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal) membiayai sepenuhnya suatu usaha
tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada
prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling
membantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang.
Dalam sejarah Islam banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam
mengelola uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan yang
tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong
menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik
modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Akad mudharabah berbeda dengan akad
pembiayaan yang ada pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional).
Perbankan konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku
bunga tertentu dan pengembalian modal yang telah digunakan mudharib dalam
jangka waktu tertentu. Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga
tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan
mewajibkan mudharib memberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh mudharib.
Pembiayaan mudharabah pada dasarnya diperuntukan untuk jenis usaha tertentu
atau bisnis tertentu. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah akan mencoba
membahas tentang mudharabah ini serta permasalahan yang ada didalamnya.
B.
Rumusan
Masalah
Didalam Makalah ini akan dibahas meliputi :
1.
Pengertian
Mudharabah
2.
Dasar
Hukum Mudharabah
3.
Syarat
dan Rukun Mudharabah
4.
Jenis-jenis
Mudharabah
5.
Hikmah
Mudharabah
6.
Asas-asas
Perjanjian Mudharabah
7.
Sebab-sebab
Batalnya Mudharabah
C.
Manfaat
Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu selain sebagai salah satu
tugas mata kuliah Fiqh 2, penulis berharap dengan makalah ini dapat menambah
keilmuan para pembaca pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari
kata dharb, artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi untuk mencari karunia Allah yaitu
rizeki.[1]
Mudharabah adalah salah satu
bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam berdagang,[2] di
dalam fiqh Islam di sebut dengan Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan
dengan qiradyang berarti al-qat’ (potongan). Pemilik modal
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungannya. Maksudnya, akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya
(salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk
diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Mudharabah
berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al ardh, yaitu
bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-Jaziri mengatakan, Mudharabah menurut
bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain
sebagai modal usaha di mana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka
berdua, dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Sedangkan menurut istilah
syara’, Mudharabah merupakan akad antara dua pihak untuk bekerja sama
dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak
lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi di antara
mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama.
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan
Mudharabah atau qirad dengan :
أَنْ يَدْ فَعٍ اَلْمَا لِكُ اِلَى الْعَامِلُ مَالًايَتَجَرَ فِيْهِ وَيَكُوْنُ الَّربْحُ مُشْتَرِكًا
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk
diperdagangkan oleh pemilik modal, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi
milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Secara teknis, al-Mudharabah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al-mal)
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu tidak disebabkan oleh kelalaian si pengelola. Namun, apabila
kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola
harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
B.
Dasar
Hukum Mudharabah
1.
Al-Qur’an
Akad Mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara itu banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar tolong menolong dalam pengelolaan modal tersebut, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal tersebut.
Akad Mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara itu banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar tolong menolong dalam pengelolaan modal tersebut, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal tersebut.
Pada
masa jahiliyyah qirad telah dilaksanakan, kemudian dilanjutkan oleh
generasi berikutnya yaitu agama Islam. Timbulnya qirad karena menjadi kenyataan
hajat bagi setiap manusia. Qirad ini memberikan nilai tambah antara
keduanya yang mengandung sifat tolong menolong, karena orang yang mempunyai
modal tetapi tidak pandai berdagang, atau tidak berkesempatan, sedangkan yang lain
pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetapi tidak mempunyai modal,
maka keduanya bisa saling mengisi demi kemajuan bersama.
Qirad benar-benar
diakui keberadaannya di dalam hukum Islam (Syariat Islam) berdasarkan dalil
naqly baik berupa nash maupun berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. Dalil naqly
tersebut sebagai berikut:
“Hai
orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu kepada Allah dan tinggalkanlah
(jangan pungut) apa pun bentuk riba yang masih ada, jika kamu benar beriman
kepada-Nya. Jika kamu tidak mau meninggalkannya, maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rosul-Nya akan menerangimu. Tapi, jika kamu tobat (kembali kepada ajaran
Allah), m
aka kamu boleh menerima modalmu, sehingga kamu tidak menganiaya si
peminjam dan kamu tidak pula dianiayanya”. (QS. Al-Baqarah: 278-279).
Ayat
Al-Qur’an lain yang secara umum mengandung kebolehan akad Mudharabah untuk
bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi adalah:
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”. (QS. Al-Muzammil: 20).
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”. (QS. Al-Muzammil: 20).
Maksud
dari QS. al-muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar
kata Mudharabah yang berarti melakuakn suatu perjalanan usaha.
“Tidak ada dosa (halangan) bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu”. (QS. Al-Baqarah: 198).[3]
“Tidak ada dosa (halangan) bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu”. (QS. Al-Baqarah: 198).[3]
2.
Hadis
Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.
Sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Rasulullah pernah melakukan Mudharabah dengan Khadijah, dengan modal dari Khadijah. Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan.
قَالَ رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ وَاَخْلاَطُ الْبُرِّ بِاالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Rasulullah
saw bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual
beli secara tangguh, muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan
gandum merah untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.”
كَانَ سَيِّدِنَا الْعَبَّاسُ بْنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ اِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ اَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا, وَلَا يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلَا يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ فَإِ نْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ فَبَلَغَ شَرْتُهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَا‘لِهِ وَ سَلَّم فَأَ جَازُهُ
“Abbas
bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta
sebagai Mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak
mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak.
Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya.
Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya”(HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).[4]
3.
Ijma’
Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta anak yatim dengan cara Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal. ”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad (Mudharabah)”. Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat sementara tidak ada satu orang pun mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang kemubahan Mudharabah ini.
Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Humaid dari bapaknya dari kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan harta anak yatim dengan cara Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari harta tersebut lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan kepadanya oleh Al-Fadhal. ”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin Ila’ bin Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad (Mudharabah)”. Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat sementara tidak ada satu orang pun mengingkari dan menolaknya, maka hal itu merupakan ijma’ mereka tentang kemubahan Mudharabah ini.
C.
Syarat
dan Rukun Mudharabah
Syarat yang harus dipenuhi dalam akad Mudharabah adalah:[5]
1.
Harta
atau Modal
a.
Modal
harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang,
maka barang tersebut harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang
beredar (atau sejenisnya).
b.
Modal
harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
c.
Modal
harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkannya melakukan usaha.
2.
Keuntungan
a.
Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin
dihasilkan nanti. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus
jelas prosentasinya.
b.
Kesepakatan
rasio prosentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
c.
Pembagian
keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau
sebagian modal kepada shahib al-mal.
Menurut madzhab
Hanafiyah rukun Mudharabah adalah ucapan tanda penyerahan dari pihak
yang menyerahkan dalam suatu perjanjian (ijab) dan ucapan tanda setuju (terima)
dari pihak yang menerima dalam suatu akad perjanjian atau kontrak (qabul), jika
pemilik modal dengan pengelola modal telah melafalkan ijab qabul, maka akad itu
telah memenuhi rukunnya dan sah.
Sedangkan menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun
dari Mudharabah yaitu:
1.
Dua
pihak yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal dan pengelola
dana/pengusaha/mudharib); Keduanya hendaklah orang berakal dan sudah baligh
(berumur 15 tahun) dan bukan orang yang dipaksa. Keduanya juga harus memiliki
kemampuan untuk diwakili dan mewakili.
2.
Materi
yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan terdiri dari atas modal (mal),
usaha (berdagang dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan
tersebut), keuntungan;
3.
Sighat, yakni
serah/ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan terima/ungkapan
menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pemilik modal (qabul)[6].
D.
Jenis-jenis
Mudharabah
Mudharabah dibagi menjadi tiga yaitu:[7]
Mudharabah dibagi menjadi tiga yaitu:[7]
1.
Mudharabah
Mutlaqah (URIA)
Mudharabah
Mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahib al-mal(penyedia dana)
dengan mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana
melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya kepada mudharib untuk
mengelola dananya. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dana
URIA ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan.
Penerapan umum dalam produk ini adalah:
Penerapan umum dalam produk ini adalah:
a.
Bank
wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
b.
Untuk
tabungan Mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan. Sebagai bukti
penyimpanan serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung.
c.
Tabungan
Mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan
perjajian yang disepakati namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
d.
Ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan tabungan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
2.
Mudharabah
Muqayyadah On Balance Sheet
Mudharabah
muqayyadah on balance sheet adalah akad Mudharabah yang
disertai pembatasan penggunaan dana dari shahib al-mal untuk
investasi-investasi tertentu. Contoh pengelolaan dana dapat diperintahkan
untuk:
a.
Tidak
mencampurkan dana pemilik dana dengan dana lainnya.
b.
Tidak
menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa pinjaman,
tanpa jaminan; atau
c.
Mengharuskan
pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga.
Jenis Mudharabah ini merupakan simpanan khusus di mana
pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh
bank. Karakteristik jenis simpanan ini adalah:
a.
Pemilik
dana wajib menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank,
wajib membuat akad yang mengatur persyaratn penyaluran dana simpanan khusus.
b.
Bank
wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
c.
Sebagai
tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana dari rekening lainnya.
3.
Mudharabah
Muqayyadah Off Balance Sheet
Jenis
Mudharabah ini merupakan penyaluran dana Mudharabah langsung kepada
pelaksanaan usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang
mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari
bisnis (pelaksana usaha).
Karakteristik
jenis simpanan ini adalah:
a.
Sebagai
tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib
memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos
tersendiri dalam rekening administratif.
b.
Dana
simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan
oleh pemilik dana.
c.
Bank
menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik
dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.
Dalam lembaga keuangan akad tersebut diterapkan untuk proyek yang dibiayai langsung oleh dana nasabah, sedangkan lembaga keuangan hanya bertindak sebagai wakil yang mengadministrasikan proyek itu.
Dalam lembaga keuangan akad tersebut diterapkan untuk proyek yang dibiayai langsung oleh dana nasabah, sedangkan lembaga keuangan hanya bertindak sebagai wakil yang mengadministrasikan proyek itu.
E.
Hikmah Mudharabah
Sebagian orang memiliki harta, tetapi
tidak berkemampuan untuk memproduktifitaskannya. Terkadang pula ada orang yang
tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifitaskannya,
oleh karena itu syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat
mengambil manfaatnya.
Pemilik harta mendapatkan manfaat
dengan pengalaman mudharib (orang yang diberi modal), sedangkan mudharib dapat
memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal) dengan demikian tercipta
kerjasama antara pemilik modal dan mudharib. Allah tidak menetapkan segala
bentuk akad, melainkan demi terciptanya kemaslahatan dan terbendungnya
kesulitan.
Adapun hikmah dari Mudharabah yang dikehendaki adalah
mengangkat kehinaan, kefakiran dan kemiskinan masyarakat juga mewujudkan rasa
cinta kasih dan saling menyayangi antar sesama manusia. Seorang yang berharta
mau bergabung dengan orang yang pandai memperdagangkan harta dari harta yang
dipinjami oleh orang kaya tersebut.[8]
F.
Asas-asas
Perjanjian Mudharabah
Asas-asas dalam perjanjian Mudharabah adalah;
1.
Perjanjian Mudharabah dapat
dibuat secara formal maupun informal, secara tertulis maupun lisan. Namun,
sesuai dengan ketentuan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282-283 yang menekankan
agar perjanjian-perjanjian dibuat secara tertulis.
2.
Perjanjian Mudharabah dapat
pula dilangsungkan diantara shahib al-mal dan beberapa mudharib,
dapat pula dilangsungkan diantara beberapa shahib al-mal dan
beberapa mudharib.
3.
Pada
hakekatnya kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal Mudharabah
kepada mudharib. Bila hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian Mudharabah
menjadi tidak sah.
4.
Shahib
al-mal dan mudharib haruslah orang yang cakap bertindak hukum
dan cakap diangkat sebagai wakil.
5.
Shahib
al-mal menyediakan dana, mudharib menyediakan keahlian, waktu,
pikiran, dan upaya.
6.
Mudharib berkewajiban
mengembalikan pokok dana investasi kepada shahib al-mal ditambah bagian dari
keuntungan shahib al-mal.
7.
Syarat-syarat
perjanjian Mudharabah wajib dipatuhi mudharib.
8.
Shahib
al-mal berhak melakukan pengawasan atas pelaksanaan
perjanjian Mudharabah.
9.
Shahib
al-mal harus menentukan bagian tertentu dari laba kepada mudharib dengan
nisbah (prosentase).
10.
Mudharabah berakhir
karena telah tercapainya tujuan dari usaha tersebut. Sebagaimana dimaksud dalam
perjanjian Mudharabah atau pada saat berakhirnya jangka waktu
perjanjian Mudharabah atau karena meninggalnya salah satu pihak,
yaitu shahib al-mal atau mudharib, atau karena salah satu pihak memberitahukan
kepada pihak lainnya mengenai maksudnya untuk mengakhiri
perjanjian Mudharabahitu.[9]
G.
Sebab-sebab
Batalnya Mudharabah
Mudharabah menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.
Tidak
terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah. Apabila terdapat satu syarat yang
tidak dipenuhi, sedangkan mudharib sudah terlanjur menggunakan
modal Mudharabah untuk bisnis perdagangan, maka dalam keadaan seperti
ini mudharib berhak mendapatkan upah atas kerja yang dilakukannya, karena usaha
yang dilakukannya atas izin pemilik modal dan mudharib melakukan suatu
pekerjaan yang berhak untuk diberi upah.
Semua
laba yang dihasilkan dari usaha yang telah dikerjakan adalah hak pemilik modal.
Jika terjadi kerugian maka pemilik modal juga yang menanggungnya.
Karena mudharib dalam hal ini berkedudukan sebagai buruh dan tidak
dapat dibebani kerugian kecuali karena kecerobohannya.
2.
Pengelola
atau mudharib sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya
dalam memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan
akad. Jika seperti itu dan terjadi kerugian maka, pengelola berkewajiban untuk
menjamin modal karena penyebab dari kerugian tersebut.
3.
Pengelola
meninggal dunia atau pemilik modalnya, maka Mudharabah akan menjadi
batal.
Jika
pemilik modal yang wafat, pihak pengelola berkewajiban mengembalikan modal
kepada ahli waris pemilik modal serta keuntungan yang diperoleh diberikan
kepada ahli warisnya sebesar kadar prosentase yang disepakati. Tapi jika yang
wafat itu pengelola usaha, pemilik modal dapat menuntut kembali modal itu
kepada ahli warisnya dengan tetap membagi keuntungan yang dihasilkan
berdasarkan prosentase jumlah yang sudah disepakati.
Jika Mudharabah
telah batal, sedangkan modal berbentuk ‘urudh (barang dagangan), maka
pemilik modal dan pengelola menjual atau membaginya, karena yang demikian itu
merupakan hak berdua. Dan jika si pengelola setuju dengan penjualan, sedangkan
pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal dipaksa menjualnya, karena si
pengelola mempunyai hak di dalam keuntungan dan dia tidak dapat memperolehnya kecuali
dengan menjualnya. Demikian menurut madzhab Asy Syafi’i dan Hambali.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua
atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di
awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal
dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Ayat Al-Qur’an yang secara umum mengandung kebolehan akad
Mudharabah untuk bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi
adalah:
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”. (QS. Al-Muzammil: 20).
“Dan yang lain lagi, mereka bepergian di muka bumi mencari karunia dari Allah”. (QS. Al-Muzammil: 20).
menurut jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
1.
Dua
pihak yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal dan pengelola
dana/pengusaha/mudharib)
2.
Materi
yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan
3.
Sighat
(ijab-qabul)
Mudharabah dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1.
Mudharabah
Mutlaqah
2.
Mudharabah
Muqayyadah On Balance Sheet
3.
Mudharabah
Muqayyadah Off Balance Sheet
Mudharabah menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.
Tidak
terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah
2.
Pengelola
atau mudharib sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya
dalam memelihara modal
3.
Pengelola
meninggal dunia atau pemilik modalnya
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, sulaiman; Fiqh Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung;
sinar baru algesindo, 2011.
http://m.detik.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Mudharabah
http://infodakwahislam.wordpress.com/
http://arissasminto.blogspot.com/2013/04/mudharabah.html
http://muhammad-iwad.blogspot.com/
[1]
http://m.detik.com/
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Mudharabah
[3] http://infodakwahislam.wordpress.com/
[4] http://arissasminto.blogspot.com/2013/04/mudharabah.html
[5] https://infodakwahislam.wordpress.com/2013/04/26/syarat-dan-rukun-mudharabah/
[6] Rasjid,
sulaiman; Fiqh Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung; sinar baru
algesindo, 2011. Hal. 299
[7] https://infodakwahislam.wordpress.com/
[8] https://infodakwahislam.wordpress.com/2013/05/20/jenis-jenis-mudharabah/
[9] http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/05/21/asas-asas-perjanjian-mudharabah/
[10] http://infodakwahislam.wordpress.com/
Comments
Post a Comment