Distorsi Pasar dalam Islam

Distorsi Pasar dalam Islam
Dalam konsep Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Pertemuan antara permintaan dan penawaran tersebut harus terjadi ridha sama ridha, tidak ada pihak yang merasa tertipu atau adanya kekeliruan objek transaksi dalam melakukan transaksi barang tertentu (Q) pada tingkat harga tertentu (P). Dengan demikian, Islam menjamin pasar bebas di mana para pembeli dan para penjual bersaing satu sama lain dengan arus informasi yang berjalan lancar dalam kerangka keadilan, yakni tidak ada pihak yang dzalim atau merasa didzalimi. Hal di atas tentunya merupakan situasi ideal, namun pada kenyataannya, situasi ideal tersebut tidak selalu tercapai, karena sering kali terjadi gangguan/intervensi pada mekanisme pasar yang ideal ini. Gangguan terhadap mekanisme pasar ini sering dikenal sebagai distorsi pasar (market distortion). Pada garis besarnya, ada tiga bentuk distorsi pasar sebagai berikut :
1. Distorsi penawaran dan distorsi permintaan
Distorsi penawaran (false supply) lebih dikenal sebagai ikhtikar sedangkan distorsi pada permintaan (false demand) dikenal sebagai bai’ najasy. Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh atau bekerjasama dengan orang lain agar memuji atau menawar barangnya dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula untuk membeli. Si penawar sendiri sebenarnya tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnya dengan harga yang tinggi pula dengan maksud untuk menipu dan mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal. Akibatnya terjadi “permintaan palsu” (false demand) atas produk tersebut.
Sebagai ilustrasi, misalkan ada seorang penjual bernama Johan, ia menjual produk elektronik cina dan ia telah bekerjasama dengan Ryan agar berpura-pura hendak membeli produk yang dijual oleh Johan. Ketika Amir lewat, karena ia melihat Ryan sedang sibuk menawar maka tertariklah ia untuk melihat produk dagangan Johan. Ryan berpura-pura memberitahu Amir bahwa produk-produk ini bagus dan Ryan pura-pura menawar produk-produk tersebut dengan harga tinggi, Amir pun pada akhirnya terbujuk dan membeli produk tersebut dengan harga yang di atas harga yang ditawar oleh Ryan. Ketika setibanya di rumah, ternyata produk tersebut jelek dan Amir merasa tertipu.
Ikhtikar (distorsi penawaran) ini seringkali diterjemahkan sebagai monopoli dan atau penimbunan. Padahal sebenarnya ikhtikar tidak identik dengan monopoli dan atau penimbunan. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah ikhtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut monopoly’s rent.
Jadi dalam Islam, monopoli boleh, sedangkan monopoly’s rent tidak boleh. Karena ketika seorang produsen menimbun barang bukan untuk persediaan melainkan hanya untuk permainan agar harga semakin meningkat -sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran ketika permintaan meningkat dan penawaran sedikit maka harga akan meningkat-. Kemudian produsen akan menjual setelah harga tinggi agar ia memperoleh keuntungan yang berlipat, hal ini tidak diperbolehkan sebab akan menimbulkan kesengsaraan bagi pihak lain terutama bagi konsumen dari kalangan yang kurang mampu. Namun apabila produsen menimbun barang untuk persediaan, misalkan dikarenakan cuaca atau iklim yang tidak menentu yang dapat menyebabkan tersendatnya distribusi barang, sehingga ketika barang tersedia, maka produsen langsung menimbun barang agar persediaan cukup untuk jangka waktu yang lebih lama. Hal ini diperbolehkan dalam Islam, sebab menimbun barang yang dilakukan bukan bertujuan mencari keuntungan berlipat melainkan untuk persediaan barang.
2. Tadlis (penipuan)
Kondisi ideal dalam pasar adalah apabila penjual dan pembeli mempunyai informasi yang sama tentang barang yang akan diperjualbelikan. Apabila salah satu pihak tidak mempunyai informasi (assymetric information) seperti yang dimiliki oleh pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan/penipuan. Al-Quran dengan tegas telah melarang semua trasaksi bisnis yang mengandung unsur penipuan dalam segala bentuk terhadap pihak lain. Tadlis (penipuan = unknown to one party) dapat mengambil empat bentuk, yakni penipuan menyangkut jumlah barang (quantity), Mutu barang (quality), harga barang (price), dan waktu penyerahan barang (time of delivery).
Dalam sistem Ekonomi Islam hal ini (ketimpangan informasi tentang barang yang akan diperjualbelikan) juga dilarang karena dengan adanya informasi yang tidak sama antara kedua belah pihak, maka unsur “an Tarradi Minkum” (ridha sama ridha) dilanggar. Untuk menghindari penipuan, masing-masing pihak harus mempelajari strategi pihak lain.

3. Taghrir (dari kata gharar = uncertainty, kerancuan)
Taghrir berasal dari kata bahasa Arab gharar, yang berarti : akibat, bencana, bahaya, resiko, ketidakpastian, dsb. Sebagai istilah dalam fiqh mu’amalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi ; atau mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibn Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan bisnis atau jual beli. Seperti telah kita singgung sebelumnya, baik taghrir maupun tadlis keduanya terjadi karena adanya assymetric information. Bedanya dalam taadlis, assymetric information ini hanya dialami oleh satu pihak saja (unknown to one party, misalnya pembeli saja, atau penjual saja), sedangkan dalam taghrir, incomplete information dialami oleh kedua belah pihak (baik pembeli maupun penjual).
Karena itu, kasus taghrir terjadi bila ada unsur ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties). Dalam ilmu ekonomi, taghrir ini lebih dikenal sebagai ketidakpastian atau risiko. Dalam situasi kepastian, hanya ada satu hasil atau kejadian yang akan muncul dengan probabilitas sebesar 1 (satu). Taghrir (kerancuan, ketidakpastian = unknown to both parties) mengambil empat bentuk yang menyangkut kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sering kali terjadi gangguan/intervensi pada mekanisme pasar yang ideal yang dikenal dengan distorsi pasar. Ada tiga bentuk distorsi pasar sebagai berikut: (1) distorsi penawaran dan distorsi permintaan; (2) tadlis (penipuan); (3) taghrir (dari kata gharar = uncertainty, kerancuan).
 
from : http://alarifs.blogspot.com/2009/02/distorsi-pasar-dalam-islam.html

Comments