BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Islam adalah agama yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup
dan mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan
masalah akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama
makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak dan adab.
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah
masalah (pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan
"al-hiwalah". Pengalihan utang ini telah dibenarkan oleh syariat dan
telah dipraktekan sejak zaman nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Allah SWT
telah bersabda :
.....وتعاونواعلى
البرّوالتقوى ولا تعاونواعلى الإثم والعدوان واتّقوا الله إنّ الله شديد العقاب
Artinya: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertaqwalah kepada Allah,
sungguh Allah sangat berat siksa-Nya”.
Dalam ayat diatas menerangkan bahwa setiap kaum muslimin
diperintahkan untuk saling tolong-menolong satu sama lain. Akad hawalah
merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang merupakan bentuk manifestasi
dari semangat ayat tersebut. Untuk lebih jelasnya, akan kami sebutkan
permasalahan seputar hiwalah dalam pembahasan berikut ini.
B.
Rumusan Masalah
Didalam makalah
ini akan dibahas meliputi :
1.
Pengertian
Hiwalah
2.
Jenis-jenis
Hiwalah
3.
Rukun
dan Syarat Hiwalah
4.
Hikmah
dan Dalil disyariatkannya Hiwalah
5.
Konsekuensi
Akad Hiwalah
6.
Berakhirnya
Akad Hiwalah
7.
Fatwa
MUI Tentang Hiwalah
8.
Unsur
kerelaan dalam Hiwalah
C.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari
penulisan makalah ini yaitu selain sebagai salah satu tugas mata kuliah Fiqh
II, penulis berharap dengan makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca
mengenai muamalah khususnya tentang Hiwalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hiwalah
1. Menurut bahasa yang dimaksud hiwalah ialah al-intiqal dan
al-tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan. Abdurrahman
al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa adalah
:
النقل من محل الى محل
(Annaqlu min mahallin ilaa mahalli)
“Pemindahan
dari suatu tempat ke tempat yang lain”. (al-Fiqh ‘ala madzahib al-Arba’ah, hal.
210)
2.
Menurut
syara’
Pengertian Hiwalah menurut syara’ (istilah)
para ulama mendefinisikannya antara lain sebagai berikut :
a.
Menurut Hanafiyah,
yang dimaksud hiwalah adalah :
“Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang
lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula”
b.
Menurut Maliki,
Syafi’i dan Hanbali, hiwalah adalah :
“Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang
dari satu pihak kepada pihak yang lain”.
Kalau
diperhatikan, maka kedua definisi di atas bisa dikatakan
sama.Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa
madzhab Hanafi menekankan pada segi kewajiban membayar hutang.
Sedangkan ketiga madzhab lainnya menekankan pada segi hak
menerima pembayaran hutang.
B.
Jenis-jenis Hiwalah
1.
Hiwalah
Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama)
kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak
ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A
berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C
tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut
Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan
jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
2.
Hiwalah
Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan
Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah
hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya
membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar
utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik
sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah
hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwal
ah tidak sah.
3.
Hiwalah
Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada
piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini
yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya
kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah
atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai
hutang kepada piutang B.
4.
Hiwalah
Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang
mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya
hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
Hiwalah
Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana
melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya
sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya
sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang
(factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam
kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Menurut madzhab Hanafi, rukun hiwalah
hanya ijab (pernyataan yang melakukan hiwalah)
dari muhil (pihak pertama) dan Kabul (pernyataan
menerima hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal
‘alaih (pihak ketiga).
Menurut
madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, rukun hiwalah
ada 6 :
1. Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan)
utang
2. Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang
mempunyai utang kepada muhil)
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah
4. Ada piutang muhil kepada muhal
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
6. Ada sighat
hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,
“Akuhiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada fulan”
dan kabuldari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima
hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
D.
Syarat Hiwalah
Didalam bukunya
Sayyid Sabiq syarat sah hiwalah ada empat yaitu:
وشرائط الحوالة أربعة أشياء: رضاء المحيل، وقبول المحال، وكون الحق
مستقرا في الذمة، واتفاق ما في ذمة المحيل و المحال عليه في الجنس والنوع والحلول
والتأجيل. وتبرأ بها ذمة
المحيل
syarat
hiwalah itu ada empat, yaitu :
1.
Ada
kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
2.
Ada
persetujuan dari muhal (orang yang member hutang)
3.
Hutang
yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
4.
Adanya
kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang)
dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan
hiwalah hutang muhil bebas.
Dalam
referensi lain syarat hiwalah adalah sebagai berikut:
1.
Syarat
Bagi Pihak Pertama
a.
Cakap
dalam melakukan tindakan hukum, dalam bentuk akad yaitu baligh, dan berakal.
Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti
(mumayyis) ataupun dilakukan oleh orang gila
b.
Ada
persetujuan (ridho). Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad
tersebut tidak sah. Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian
orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jik akewajibannya untuk
membayar hutang dialaihkan kepada pihak lain meskipun pihak lain itu memang
berhutang kepadanya.
2.
Syarat
kepada pihak kedua
a.
Cakap
melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal.
b.
Disyaratkan
ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah
(madzhab hanafi sebagaian besar madzhab maliki dan syafi’i). persyaratan ini ditetapkan
berdasarkan pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang
berbeda-beda ada yang mudah dan ada pula yang sulit, sedangkan menerima
pelunasan itu merupakan hak pihak kedua. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak
saja, pihak kedua dapat saja merasa dirugikan, umpamanya apabila ternayata
pihak ketiga sudah membayar hutang tersebut.
3.
Syarat
bagi pihak ketiga
a.
Cakap
melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagai syarat bagi
pihak pertama dan kedua.
b.
Disyaratkan
ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (madzhab hanafi).
Sedangkan madzhab lainnya tidak mensyaratkan hal ini. Sebab dalam
akad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai obyek akad. Dengan
demikian persetujuannya tidak merupakan syarat syah hiwalah.
c.
Imam
Abu Hanifah dan Muhammad bin hasan Asy- syaibani menambahkan, bahwa
Kabul tersebut, dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu
majlis akad.
4.
Syarat
yang diperlukan terhadap hutang yang dialihkan
a.
Sesuatu
yang dilakukan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang
sudah pasti.
b.
Apabila
pengalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah Al-Muqayyadah semua ulama’ fikih
sepakat menyatakan, bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua maupun
hutang pihak ketiga kepada pihak pertama mesti sama jumlah dan
kualitasnya. Jika antara kedua hutang tersebuut terdapat perbedaan jumlah
(hutang dalam bentuk uang), atau perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk
barang) maka hiwalah tidak sah. Tetapi apabila pengalihan itu dalabentuk
hiwalah al-muthlaqoh (madzab hanafi), maka kedua hutang tersebut tidak mesti
sama, baik jumlah ataupun kualitasnya.
c.
Madzab
Syafi’I menambahkan, bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula, waktu jatuh
temponya. Jika tidak sama, maka tidak sah.
Sedang
menurut Miftakhul Khairi menyebutkan syarat-syarat Hawalah itu sebagai berikut
:
1.
Persamaan
dua hak karena hawalah adalah memindahkan hak. Ia dipindahkan sebagaimana
sifatnya yang ada yang mencakup jenis, sifat, penempatan (perikatan), dan
tenggang waktu. Jika ada perbedaan antara dua hak menyangkut salah satu dari
hal tersebut maka hawalah tidak sah.
2.
Hawalah
pada hutang yang telah tetap. Tidak sah pada hutang transaksi salam karena
sifatnya tidak tetap, yaitu transaksi salam dapat dibatalkan jika barang yang
ditransaksikan bermasalah.
3.
Hawalah
dilakukan pada harta yang diketahui. Jika hawalah terjadi pada jual beli, maka
tidak boleh pada barang yang belum diketahui. Jika hawalah pada pemindahan hak,
maka harus pada barang yang dapat diserahterimakan, sedang barang yang tidak
diketahui tidak dapat diserahterimakan.
4.
Hawalah
dilakukan dengan kerelaan muhil (orang yang memindahkan) dan muhal (orang yang
menerima pindahan).
Prof.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa syarat-syarat hawalah menurut
madzab Hanafiah adalah sebagai berikut :
1.
Syarat-syarat
Shighah
Akad al-hawalah terbentuk dengan terpenuhinya ijab dan qobul atau
sesuatu yang semakna dengan ijab qobul, seperti dengan pembubuhan tanda tangan
diatas nota al-hawalah, dengan tulisan dan isyarat. Ijab adalah pihak al-muhil
berkata ,”aku alihkan kamu kepada si Fulan.” Qobul adalah seperti pihak
al-muhal berkata,: saya terima atau saya setuju.” Ijab dan qobul diisyaratkan
harus dilakukan di majlis akad dan akad yang ada disyaratkan harus fnal,
sehingga didalamnya tidak berlaku khiyar majlis ataupun khiyar syarat.
2.
Syarat-syarat
al-Muhiil
Ada dua syarat untuk al-muhiil seperti berikut:
a.
Ia
harus orang yang memiliki kelayakan dan kompetensi untuk mengadakan akad yaitu
ia adlah orang yang berakal dan baligh. Berdasarkan hal ini berarti baligh
adalah syarat an-nafadz (berlaku efektifnya akad al-hawalah), bukan syarat
al-in’iqad (syarat terbentuknya akad).
b.
Ridha
dan persetujuan al-muhiil, maksudnya atas kemauan sendiri tidak dalam keadaan
dipaksa. Jadi, apabilapihak al-mihiil dalam kondisi dipaksa untuk mengadakan
akad al-hawalah, maka akad al-hawlah tersebut tidak sah. Karena al-hawalah
adalah bentuk al-ibraa’(pembebasan) yang mengandung arti at-tamliik
(pemilikan). Oleh karena itu tidak sah jika dilakukan dengan aadanya unsure
paksaan seperti bentuk-bentuk akad yang mengandung makna at-tamliik lainnya.
Ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah sependapat dengan ulama’ Hanafiyah
dalam syarat satu ini.
Sementara itu Ibnu Kamal dalam kitab “Al-Lidhaah,” menuturkan bahwa
Ridho pihak al-muhiil adalah sebagai syarat supaya nanti al-muhal ‘alaih boleh
meminta ganti kepadanya.
3.
Syarat
Al-Muhal
Ada tiga syarat yang harus terpenuhi dalam kaitannya dengan pihak
al-muhal, yaitu :
a.
Ia
harus punya kelayakkan dan kompetensi mengadakan akad, sama dengan syarat
pertama pihak al-muhiil yaitu ia harus berakal karena qobul dari pihak al-muhal
adalah termasuk rukun hawalah. Ia harus juga baligh sebagai syarat akad
al-hawalah yang ada bias berlaku efektif. Apabila pihak al-muhal belum baligh
maka butuh kepada persetujuan dan pengesahan dari walinya.
b.
Ridho
dan persetujuan al-muhal. Oleh karena itu tidak sah apabila al-muhal dalam
keadaan dipaksa berdasarkan alas an yang telah disinggung diatas. Ulama’
Malikiyah, Syafi’iyah sependapat denangan ulama’ Hanafiyah.
c.
Qabul
yang dberikan oleh pihak al-muhal harus dilakukan di majlis akad. Ini adalah
syarat terbentuknya akad al-hawalah menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Jika
seandainya pihak al-muhal tidak hadir di majlis akad lalu sampai kepadanya
berita tentang diadakannya akad al-hawalah tersebut lalu ia menerimanya maka
menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad akad hiwalah tersebut tetap tidak data
dilaksanakan dan tidak berlaku efektif. Sementara itu menurut Abu Yusuf, syarat
ketiga ini hanya syarat an-nafs. Al-kasani mengatakan bahwa yang benar adalah
pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad, karena qabul pihak al-muhal adalah
salah satu rukun al-hawalah.
4.
Syarat-syarat
Al-Muhal ‘alaiih
Syarat-syarat muhal ‘alaiih sama dengan syarat-syarat al muhal
yaitu :
a.
Ia
harus memiliki kelayakan dan kompetensi dalam mengadakan akad yaitu harus
berakal dan baligh.
b.
Ridho
pihak al-muhal ‘alaiih.
c.
Qabulnya
al-muhal ‘alaiih harus dilakukan di majlis akad, ini adalah syarat al-in’iqaad
menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, bukan hanya sebatas syarat an-nafs.
5.
Syarat-syarat
Al-Muhal Biih
Ulama’ sepakat bahwa syarat al-muhal biih ada dua yaitu :
a.
Al-muhal
biih harus berupa ad-damain (harta yang berupa utang), maksudnya pihak al-muhil
memang memiliki tanggungan hutang kepada pihak al-muhal. Apabila tidak, maka
akad tersebut adalah akad al-wakaalah (perwakilan) sehingga selanjutnya secara
otomatis hukum dan peraturan akad al-wakalah, bukan akad al-hawalah.
Berdasarkan syarat ini maka tidak sah mengadakan akad al-hawalah dengan
al-muhal bih berupa harta al-‘ain yang barangnya masih ada, belum rusak atau
binasa. Karena al-‘ain tersebut bukan merupakan suatu yang berada dalam
tanggungan.
b.
Tanggungan
hutang yang ada sudah positif dan bersifat mengikat seperti hutang dalam akad
pinjaman hutang (al-qardh). Oleh karena itu tidak sah pada masa lalu akad
al-hawalah dengan al-muhal bih adalah harga al-mukhotobah (sejumlah uang yang
dibayarkan si budak kepada majikannya sebagai syarat kemerdekaannya) sedangkan
si budak adalah sebagai al-muhal ‘alaih. Secara garis besar bias dikatakan
bahwa setiap tanggungan hutang yang tidak sah dijadikan sebagai al-makfuul
bihi, maka juga tidak sah dijadikan sebagai al-muhal bih yaitu harus berupa
hutang yang hakiki, sudah nyata dan positif tidak bersifat spekulatif dan masih
mengandung kemungkinan antara ada dan tidak. Yaitu hutang yang biasanya para
fuqoha’ menyebutnya dengan hutang yang shohih. Disyaratkannya hutang yang ada
harus berstatus positif dan mengikat adalah pendapat jumhur selain ulama’
hanabilah. Sementara itu, ulama’ hanabilah memperbolehkan hawalah terhadap
hutang berupa harga akad mukhatabah dan hutang berupa harga pembelian selama
masa khiyaar. Ulama’ syafi’iyah memperbolehkan hutang tersebut belum positif
dan mengikat dengan sendirinya, seperti hutang berupa harga pembelian yang dibarengi
dengan khiyaar di dalam akad.
Sementara itu ulama’ malikiyyah mensyaratkan tiga hal untuk muhal
bih yaitu:
1.
Tanggungan
hutang yang dijadikan Al-muhal bih memang telah jatuh tempo pembeyarannya
2.
Tanggungan
hutang yang dijadikan Al-muhal bih(hutang yang dialihkan, maksudnya
hutang pihak al-muhil kepada pihak al-muhal) sama spesifikasinya (sifat dan
jumlahnya) dengan tanggungan hutang pihak al-muhal alaih kepada pihak al-muhil.
Oleh karena itu tidak boleh jika salah satunya lebih banyak atu lebih sedikit
atu jika salah satunya lebih baik kualitasnya atau lebih jelek. Karena jika
tidak sama maka hal itu berarti telah keluar dari al-hawalah dan
termasuk dalam kategori al-bai’ (jual beli) yaitu jual beli hutang dengan
hutang.
3.
Kedua
tanggungan hutang yang ada (tanggungan hutang phak al-muhil kepada pihak
al-muhal dan tanggungan hutang pihak al-muhal alaih kepada pihak al-muhil) atau
salah satunya bukan dalam bentuk makanan yang dipesan (salam). Karena jika
dalam bentuk makanan yang dipesan maka itu termasuk menjual makanan tersebut
sebelum pihak yang memesan menerimanya, dan itu tidak boleh. Apabila salah satu
hutang yang ada muncul dai akad jual beli sedangkan hutang yang satunya lagi
muncul dari akadAl-qardh maka boleh apabila hutang yang dialihkan telah jatuh
tempo.
Dari
penjelasan beberapa madzab di atas, dalam hal ini masing-masing orang baik
muhal, muhil dan muhal ‘alaih sama-sama harus berakal, baligh dan sama-sama
ridho. Ridho disini sangat penting sekali dalam transaksi hiwalah karena jika
tanpa adanya keridhoan maka akan terjadi perselisihan hak hutang piutang.
Selain itu juga harus ada persetujuan di antara pihak pertama dan kedua. Hal
ini sesuai dengan madzab Hanafi yang mengatakan kebiasaan orang dalam membayar
hutang berbeda-beda ada yang mudah dan ada yang sulit.
E.
Hikmah dan Dalil Disyariatkannya Hiwalah
Hiwalah ini
disyari’atkan oleh Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya masalahat,
butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah. Dalam
hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah mereka,
memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan
menenangkan hati mereka.
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ
فَلْيَتْبَعْ
“Menunda
membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman dan apabila seorang dari kalian
utangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti.”
Dalam
hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang
mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada
orang yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika
pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi
pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.
Perintah
menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama adalah wajib, namun
jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.
Ada
sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan qias,
karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli
utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia
menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk jenis
pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan,
“Kalaupun itu jual beli utang dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya,
bahkan ka’idah-ka’idah syara’ menghendaki harus boleh…dst.”
F.
Konsekuensi Akad Hiwalah
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban muhil untuk
membayar hutang kepada muhal dengan sendirinya
menjadi terlepas (bebas). Sedangkan menurut sebagian ulama
madzhab Hanafi antara lain Kamal bin Humman, kewajiban tersebut
masih tetap ada selama pihak ketiga belum
melunasi hutangnya kepada muhal.
2. Akad hiwalah menyebabkan lahirnya
hak bagi muhal untuk menuntut pembayaran hutang
kepada muhal ‘alaih
3. Madzhab Hanafi yang membenarkan terjadinya hiwalah
al-muthlaqah berpendapat bahwa jika akad hiwalah al-muthlaqah terjadi
karenainisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban
antara muhil dan muhal ‘alaih yang mereka tentukan ketika
melakukan akad hutang piutang sebelumnya masih tetap berlaku, khususnya
jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.
G.
Berakhirnya akad hiwalah
1.
Apabila
kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil
menjadi gugur.
2.
Jika muhal’alaih bangkrut
(pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur
Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu
kepada muhil. Menurut Imam Maliki,
jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada
orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali
lagi menagih hutang kepada muhil.
3.
Jika
Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad
hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.
Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.
Jika
Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6.
Jika
Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
H.
Fatwa MUI Tentang Hiwalah
Seiring dengan
berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum
turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang
sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di
Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia
telah mengeluarkan fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentangHawalah disebutkan
bahwa :
1.
Rukun
hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang, muhal
atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal ‘alaih, yakni orang
yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih,
yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2.
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3.
Akad
dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara
komunikasi modern.
4.
Hawalah
dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5.
Kedudukan
dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6.
Jika
transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal
dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
I.
Unsur Kerelaan Dalam Hiwalah
1.
Kerelaan
Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa
kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam
hiwalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat
dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya.
Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah,
sulit, cepat dan tertunda-tunda. Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih
(orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan
tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima
pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka
mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal (orang
yang menerima pindahan) untuk menerima hiwalah adalah karena muhal ‘alaih
kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda
pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar
hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hiwalah. Namun jika muhal
‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya,
semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hiwalah.
2.
Kerelaan
Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa
tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya:
jika salah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang
kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada
pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena
setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang
piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal
‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada
siapa saja dari keduanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hiwalah secara
bahasa artinya pemindahan atau pengoperan. Sedang menurut istilah hiwalah
adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu
orang kepada orang lain. Hukumnya hiwalah adalah Mubah.
Rukun
Hiwalah ada empat yaitu:
1.
Muhil (orang
yang meminjami hutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
2.
Muhal (orang
yang berhutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
3.
Muhal
‘alaih (orang yang menerima hiwalah).
4.
Muhal
Bih (hutang yang dipindahkan) dengan ketentuan barangnya harus jelas.
Sedangkan syarat
hiwalah itu ada empat, yaitu :
1.
Ada
kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
2.
Ada
persetujuan dari muhal (orang yang member hutang)
3.
Hutang
yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
4.
Adanya
kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang)
dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya. Dengan
hiwalah hutang muhil bebas.
Hiwalah
akan berakhir jika akad hiwalah telah fasakh (rusak), karena meninggalnya muhal
dan muhal ‘alaih, mewarisi, menghibahkan, menyedekahkan harta hiwalah, dan
muhal membebaskan muhal alaih.
Adapun
contoh Hiwalah seperti Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Bakar dan Bakar
mempunyai hutang kepada Umar dalam jumlah byang sama. Karena Bakar tidak mampu
membayar hutangnya, ia berunding dengan Ali agar hutangnya itu ditagihkan
kepada Umar. Dalam hal ini, Umar yang berhubungan langsung dengan Ali,
sedangkan Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)-cet. 51-,Bandung;Sinar Baru
Algensindo,2011.
adieb4ever.blogspot.com/2012/05/hiwalah.html
http://alfallahu.blogspot.com/2013/05/hiwalah.html
http://ahmadbudiyono.blogspot.com/2012/11/makalah-hiwalah-pengertian-dan-rukun.html
http://syarifhidayat1992.blogspot.com/2013/04/hiwalah-dan-aplikasinya-dalam-lembaga.html
http://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/konsep-akad-hiwalah-dalam-fiqh-muamalah/
http://pasar-islam.blogspot.com/2010/10/bab-10-hiwalah-pemindahan-hutang.html
http://pengusahamuslim.com/belajar-fikih-hiwalah-1799#.UkS_zdKnptI
yah cukuppuas ataas tampilann dan isinya
ReplyDeleteterimakasih sgt membantu
ReplyDelete