BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam mempelajari ilmu hadits kita
juga perlu mengetahui sejarah hadits, penukilan, penyampaian, kualitas ,
keadaan dll. Kenapa ? hadits juga merupakan dalil yang bisa dijadikan
penyelesaan sebuah masalah, tapi supaya hadits itu dapat kita yakini. Ya, kita
harus mengetahui keadaan hadits, kualitas dll. Suatu nasehat dapat kita
percayai apabila kita mempercayai orang yang menyampaikannya, kita akan
mempercayai oaring yang menyampaikannya kita harus mengetahui dulu tingkah
lakunya. sama juga halnya dengan sebuah hadits agar kita mempercayainya, kita
terlebih dahulu mengenal siapa yang mengeluarkannya dan bagamana keadaan orang
yang mengeluarkanya itu. Mungkin dalam pembahasn kami kali ini menekankan pada
cara mengeluarkan hadits baik dengan keadaan perawinya, maupun terhadap
kualitas haditsnya, dengan mentakhrij kita dapat mengetahui keadaan hadits dan
kualitasnya. Untuk mengetahuinya lebih dalam kita harus menggunakan
metode-metode. Seperti : Metode Takhrij Naql, Tashih dan I’tibar. Yang akan
dipaparkan dalam bab berikutnya.bukan hanya itu saja, kita juga bisa mengetahui
kegunaan dan tujuan dari takhrij hadits.
B.
Perumusan Masalah
Didalam makalah ini akan dibahas meliputi :
1.
Pengertian
takhrij hadits
2.
Metode
takhrij hadits
3.
Tujuan
dan Faedah takhrij hadits
C.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini yaitu selain untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Ulumul Hadits, penulis berharap dengan makalah ini dapat
menambah ilmu pengetahuan kita terutama pengetahuan tentang Ulumul Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Takhrij Hadits
a.
Secara Etimologi
Kata takhrij berasal dari kata kharaja, yang berarti al-zuhur (tampak) dan
al-buruz (jelas) (Munawir, 1984: 356). Takhrij juga bisa berarti al-istimbat
(mengeluarkan), al-tadrib (meneliti) dan al- taujih (menerangkan) (Abadi, 1313
H: 192) Takhrij juga bisa berarti Ijtima’ al-amra’aini al-muttadla diin fi
syai’in wahid (berkumpulnya dua persoalan yang bertentangan dalam suatu hal),
al-istimbath (mengeluarkan dari sumbernya), at-tadrib (latihan), al-taujih
(menjelaskan duduk persoalan, pengarahan) (Ali, 2008: 2). Sedang menurut Syeh
Manna’ Al- Qaththan, takhrij berasal dari kata kharaja yang artinya nampak dari
tempatnya, atau keadaan, terpisah dan kelihatan. Al-kharaja artinya menampakan
dan memperlihatkannya, dan al-makhraja artinya tempat keluar, dan akhraja
al-khadits wa kharajahu artinya menampakkan d
an memperlihatkan hadits kepada
orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.(Al- Qaththan, 2006: 189).
b.
Secara terminologi
Adapun secara terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada
sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan
sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Al- Tahhan, 1978:
9).
Takhrij menurut Nizar
Ali, mempunyai pengertian:
1.
Mengungkapkan atau
mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para perowi yang
berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengeluarkan hadits.
2.
Mengeluarkan sejumlah
hadits dari kandungan kitabnya dan meriwayatkan kembali.
3.
Petunjuk yang
menjelaskan kepada sumber asal hadits.
4.
Petunjuk tentang tempat
atau letak hadits pada sumber aslinya yang diriwayatkan dengan menyebutkan
sanadnya, kemudian dijelaskan martabat/kedudukannya manakala diperlukan ( Ali,
2008: 3).
Sedangkan takhrij
menurut istilah ahli hadits, mempunyai pengertian:
1. Menunjukan asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari
berbagai kitab hadits yang disusun Mukhorrijnya langsung, kegiatan takhrij
seperti ini sebagaimana yang dilakukan oleh para penghimpun hadits dari
kitab-kitab hadits, misalnya Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang menyusun kitab Bulug
al-Maram.(Ali, 2008: 43)
2. Mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits
atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri
atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan menerangkan siapa
periwayatannya dari para penyusun kitab ataupun karya yang dijadikan sumber
acuan, kegiatan ini, seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhori yang banyak
mengambil hadits dari kitab al-Sunan karya Abu al-Hasan al-Basri al-Safar, lalu
al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri. (Ali, 2008: 43)
3. Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan peristiwanya
dengan sanad lengkap serta dengan menyebutkan metode yang mereka tempuh, inilah
yang dilakukan para penghimpun dan penyusun kitab hadits, seperti al-Bukhari
yang menghimpun kitab hadits Sakhih al-Bukhari (Ismail, 1992:42).
4. Mengemukakan hadits berdasarkan kitab tertentu dengan disertakan metode
periwayatannya dan sanadnya serta penjelasan keadaan para periwayatnya serta
kualitas haditsnya, pengertian al-takhrij seperti ini dilakukan oleh Zain
al-Din ‘Abd al-Rahman ibn al-Husai al-‘Iraqi yang melakukan takhrij terhadap
hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Gazali dengan
judul bukunya Ikhbar al-Ihya’ bi Akhbar al-Ikhya’.(Ismail, 1992: 43).
5. Menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, didalamnya
dikemukakkan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian
menjelaskan derajatnya jika diperlukan (Ismail, 2005:71).
Dengan demikian pengertian takhrij dalam makalah ini adalah penelusuran atau pencarian hadits dari berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matan serta sanadnya secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas haditsnya.
Dengan demikian pengertian takhrij dalam makalah ini adalah penelusuran atau pencarian hadits dari berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matan serta sanadnya secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas haditsnya.
B.
Metode Takhrij
Takhrij suatu metode untuk menentukan kehujahan hadits serta
unsur-unsurnya. Yang terbagi menjadi tiga, yaitu :
1.
Takhrij
Naql.
Takhrij
dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran, penukilan dan pengambilan
hadits dari beberapa kitab/ diwan hadits ( mashadir al-asliyah ), sehingga
dapat diidentifikasi hadits-hadits tertentu yang dikehendaki lengkap dengan
rawi dan sanadnya masing-masing. Penakhrijan dalam arti naql telah banyak
diperkenalkan oleh para ahli hadits, diantaranya yang dikemukakan oleh Dr.
Mahmud al-Thahhan yang menyebutkan lima teknik dalam menggunakan metode takhrij
Naql diantaranya :
a.
Takhrij
dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits
b.
Takhrij
dengan mengetahui lafadz asal matan hadits
c.
Takhrij
dengan mengetahui lafadz matan hadits yang kurang dikenal
d.
Takhrij
dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits
e.
Takhrij
dengan mengetahui matan dan sanad hadits
Dalam hal ini kami meringkas metode tersebut menjadi empat, karena
metode yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud al-Thahhan, dari lima metode tersebut
salah satu metodenya telah dibahas oleh metode sebelumnya.
a)
Melalui
pengenalan nama sahabat perawi hadits.
Metode
ini hanya digunakan bilamana nama sahabat itu tercantum pada hadits yang akan
ditakhrij apabila nama sahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan
tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya , maka sudah barang tentu metode ini
tidak dapat dipakai. Apabila nama sahabat itu tercantum dalam hadits tersebut
atau tidak tercantum. Masih dapat diketahui dengan cara tertentu , maka dapat
digunakan tiga macam kitab, yaitu : kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf.
Kitab-kitab
musnad adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan nama sahabat, atau
hadits-hadits para sahabat dikumpulkan secara tersendiri. Kitab-kitab musnad
yang ditulis oleh para ahli itu sangatlah banyak, sebagaian diantaranya :
1)
Musnad
Ahmad bin Hanbal.
2)
Musnad
Abu Baqr Sulaiman ibn Dawud al-Thayalisi
3)
Musnad
Ubaidillah, dll.
Kitab
Mu’jam adalah kitab yang ditulis menurut nama-nama sahabat , guru, negeri,dll.
Dalam kitab tersebut penulisan nama-nama sahabatnya diurutkan secara alfabetis,
contohnya :
1)
Mu’jam
al-Shahabah li Ahmad ibn al-Hamdani.
2)
Mu’jam
al-Shahabah li abi Ya’al Ahmad ‘ Ali al-mashili, dll.
Kitab
Athraf adalah kitab yang penyususnannya hanya menyebutkan sebagaian matan
hadits yang menunjukan keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya baik secara
keseluruhan atau dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu yang mana kitab ini
biasanyamengikuti musnad sahabat. Kitab Athraf diantaranya :
1)
Athraf
al-Shahihain li Abi Mas’ud Ibrahim Ibn Muhamad al-Dimasyiqi.
2)
Athraf
al-Shahihain li Abi muhamad Khalaf ibn Muhamad al-Wasitfi,dll.
b)
Melalui
pengenalan salah satu lafadz hadits.
Metode
ini hanya menggunakan satu kitab penunjuk saja, yaitu : “ Al-Mu’jam al-Mufarhas
li alfazh al-Hadits al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis
barat yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘ Abd al-Baqi. Kitab-kiatb
yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya :
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan
an-Nasa’I, SSunan ibn Majah , Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi.
Yang mana masing –masing mempunyai kode tersendiri.
c)
Melalui
pengamatan tema hadits
Metode
ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits.
Orang yang awam akan hadits akan sulit menggunakan metode ini, karena yang
dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits
yang akan ditakhrijkan. Baru kita membuka kitab yang mengandung tema tersebut.
Adapun kitab-kitab yang akan digunakann dalam metode ini adalah kitab-kitab
yang disusun secara tematis. Serta kitab-kitab ini dapat dibedakan dalam tiga
kelompok :
Kitab-kitab
yang berisi seluruh tema Agama diantaranya :
1)
Al-jami’
al Shahih Li al-Bukhari.
2)
Al-Jami’
al Shahih Li Muslim.
3)
Mustakhraj
al-Ismaili
Kitab-kitab
yang berisi sebagian banyak tema-tema Agama, seperti kitab Sunah,
yaitu:
yaitu:
1)
Sunah
Abi Dawud Li Sulaiman Ibn al-Asy’ats al Sijitsan
2)
Al
Muwatha ‘ Li al-Imam Malik Ibn Anas al-Madani.
Kitab yang hanya berisi satu tema Agama saja, yaitu :
1)
Al-Ahkam
Li’ Abd Al-Ghani ibn’ Abd al Wahid al Muqdisi.
d)
Melalui
pengenalan tentang sifat khusus matan atau sanad hadits
Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan dan sifat hadits baik yang ada pada matan maupun sanadnya. Pertama yang harus diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan kemudian yang ada pada sanad lalu kemudian yang ada pada keduanya.
Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan dan sifat hadits baik yang ada pada matan maupun sanadnya. Pertama yang harus diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan kemudian yang ada pada sanad lalu kemudian yang ada pada keduanya.
1)
Dari
segi matan : apabila pada hadits itu tampak ada tanda-tanda kemaudhuan, maka
cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadits itu adalah mencari dalam
kitab-kitab yang mengumpulkan hadits maudhu. Dalam kitab ini ada yang disususn
dalam alfabetis antara lain kitab al-mashnu’ al-hadits al-maudhu’li al syaikh’
al qori al syari’ah. Dan ada yang secara matematis antara lain kitab tanzih
al-syari’ah al- marfu’ah al-ahadits al-syafiah al-maudhu li al kanani.
2)
Dari
segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadits ada ciri tertentu, misalnya isnad
hadits itu mursal, maka hadits itu dapat dicari dalm kitab-kitab yang
mengumpulkan hadits-hadits mursal atau ada seorang perawi yang lemah sanadnya,
maka dapat dicari dalam kitab mizan al-I’tidal li al- dzahahi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits semacam itu dapat di cari dalam kitab : ‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi dan Al- Mustafad min Mubhamat al- matn wa al- isnad li abi Zar’ah Ahmad Ibn al- Rahim al- Iraqi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits semacam itu dapat di cari dalam kitab : ‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi dan Al- Mustafad min Mubhamat al- matn wa al- isnad li abi Zar’ah Ahmad Ibn al- Rahim al- Iraqi.
2.
Takhrij
Tashhih
Cara
ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama diatas. Tashhih dalam arti
menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan
berdasarkan kaidah. Kegiatan tashhih dengan menggunakan kitab ‘ Ulum al-Hadits
yang berkaitan dengan Rijal, Jarh wa al-Ta’dil, ma’an al-Hadits Gharib al-
Hadits. Kegiatan ini dilakukan oleh Mudawin ( kolektor ) sejak Nabi Muhammad
saw. Sampai abad 3 H. Dan dilakukan oleh para Syarih ( komentator ) sejak abad
4 H. sampai sekarang.
3.
Takhrij
I’tibar
Cara
ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas. I’tibar berarti mendapatkan
informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan
kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang
perlu ditempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
a.
Dilihat,
apakah hadits tersebut benar-benar sebagai hadits.
b.
Memperhatikan
unsur hadits seperti : sanad, matan dan perawi.
c.
Termasuk
jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawi, matan dan sanadnya.
d.
Bagaimana
kualitas hadits tersebut.
e.
Bila
hadits itu maqbul, bagaimana ta’amulnya , apakah ma’mul bih (dapat diamalkan)
atau ghoir ma’ul bih.
f.
Teks
hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
g.
Memahami
asbab wurud hadits.
h.
Apa
isi kandungan hadits tersebut.
i.
Menganalisis
problematika.
C.
Tujuan dan Faedah Takhrij Hadits
Ilmu takhrij
merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di
dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadist
itu berasal. Di samping itu, di dalamnya di temukan banyak kegunaan dan hasil
yang di peroleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadist.
Takhrij hadist
bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij.Tujuan lainnya adalah
mengetahui di tolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara ini,
kita akan mengetahui hadist-hadist yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah
ulumul hadist yang berlaku sehingga hadist tersebut menjadi jelas, baik asal-usul
maupun kualitasnya.
Adapun faedah
takhrij hadis antara lain :
1.
Dapat di ketahui banyak – sedikitnya jalur
periwayatan suatu hadist yang sedang menjadi topic kajian.
2.
Dapat di ketahui kuat tidaknya periwayatan akan
menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain,
kekuatan periwayatan tidak bertambah.
3.
Dapat di temukan status hadist shahih li dzatih
atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga
akan dapat di ketahui istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.
4.
Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak
mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadist tersebut adalah makbul (dapat
di terima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui
bahwa hadist tersebut tidak dapat diterima (mardud).
5.
Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadist adalah
benar – benar berasal dari Rasulullah SAW. Yang harus di ikuti karena adanya
bukti – bukti yang kuat tentang kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanad
maupun matan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling
mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja, yang artinya nampak dari
tempatnya atau keadaannya, terpisah dan kelihatan. Sedangkan menurut istilah
adalah Mengemukakan hadits berdasarkan sumber pengambilannya dan di dalamnya
disertai metode periwayatan dan sanadnya masing-masing dengan menjelaskan
keadaan perawi dan kualitas haditsnya.
Metode untuk menentukan kehujahan hadits serta unsur-unsurnya. Yang terbagi menjadi tiga, yaitu : Naql, tashhih dan I’ tibar.
Tujuan pokok mentakhrij hadits adalah untuk mengetahui sumber asal hadits yang ditakhrij dan untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud –nya. Sedangkan kegunaan Takhrij antara lain :
Metode untuk menentukan kehujahan hadits serta unsur-unsurnya. Yang terbagi menjadi tiga, yaitu : Naql, tashhih dan I’ tibar.
Tujuan pokok mentakhrij hadits adalah untuk mengetahui sumber asal hadits yang ditakhrij dan untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud –nya. Sedangkan kegunaan Takhrij antara lain :
a. Dapat mengetahui keadaan hadits.
b.
Dapat
mengetahui keadaan sanad hadits dan silsilahnya
Dapat
memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengan Kun-nya (julukan),
laqab ( gelar ) atau nasab ( keturunan ) dengan nama yang jelas, dll.
Comments
Post a Comment