BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam sejarah
perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam,
yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional serta pemikiran kalam yang
bercorak tradisional. Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah
pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada
manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang
terbatas, tidak terikat pada makna harfiah, dan banyak memakai arti majazi
dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran ini akan
melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup
yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan
Maturidiyyah Samarkand.
Sebaliknya, pemikiran
kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan
kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal,
kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada
makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran
kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan
menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik dalam diri manusia. Paham
ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.
Kalau kaum Mu’tazilah
banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung
pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan
kemudian memberikan interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan
pendapat akal. Kaum Asy’ariah sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan
kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau kaum
Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks
wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek
dari teks wahyu. Dengan kata lain Mu’tazilah membaca yang tersurat dalam
teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.
Asy’ariah merupakan
aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini
tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada,
walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1 ½ abad. Satu saat bertarung
melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mu’tazilah, tetapi kadang
juga melawan naqliyyin (tekstualis) yang diwakili oleh Salaf ekstrim
dari kalangan Hanabilah dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini
bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi Negara di dunia Sunni yang dalam
rangka itu ia ditopang oleh kondisi social-politik.
Pada akhir abad ke-3 H
muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan
Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Mereka bersatu dalam melakukan
bantahan terhadap Mu’tazilah, meskipun sedikit banyak mereka mempunyai
perbedaan.
Al-Asy’ari dilahirkan
di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun ± 330 H. Ia mempelajari ilmu
kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah Abu ‘Ali al-Jubba’I. Karena kemahirannya,
ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun begitu, pada perkembangan
selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah. Selanjutnya ia
condong kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis, padahal ia sama sekali
tidak pernah mengikuti majelis mereka dan tidak pernah mempelajari ‘aqidah
berdasarkan metode mereka.
Berdasarkan uraian di
atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam perkembangan pemikiran Islam ada dua
aliran yang mempunyai corak pemikiran yang kontradiktif. Aliran Muktazilah
mempunyai pemikiran bercorak rasional atau pemikiran yang bertumpu pada logika,
sedangkan aliran al-Asy’ariah mempunyai pemikiran bercorak tradisional,
dan aliran ini muncul sebagai sanggahan atas pemikiran Mu’tazilah. Abu
al-Hasan al-Asy’ari sebagai penggagas dan pendiri aliran al-Asy’ari ini pada mulanya
adalah pengikut setia ajaran Mu’tazilah, namun karena disebabkan beberapa hal
yang bertentangan dengan hati nurani, pemikirannya dan kondisi social
masyarakat (ia merasa perlu meninggalkan ajaran itu) di zaman itu yang
menyebabkan ia berpaling meninggalkan ajaran Mu’tazilah, dan bahkan memunculkan
aliran teologi baru sebagai reaksi perlawanan terhadap ajaran Mu’tazilah, ini
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pembahasan makalah ini,
penulis merumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1. Sejarah timbulnya aliran Al-Asy’ariah
2.
Abu Hasan al-Asy’ari
(Biografi dan Karya-karyanya) dan tokoh lain.
3.
Pokok-pokok ajarannya.
1.3
Tujuan Pembahasan
1.
Memahami sejarah
lahirnya aliran Al-Asy’ariah
2.
Mengetahui biografi dan
karya-karya pendiri aliran Al-Asy’ariyah yakni Abu Hasan al-Asy’ari dan
tokoh-tokoh lain.
3.
Mengetahui dan memahami
pokok-pokok ajaran Al-Asy’ariyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah.
Ada beberapa
kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah
sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut ini
dipaparkan :
Al-Asy’ari sungguhpun
telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran
Mu’tazilah. Sebab yang bisaa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn
Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi
Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan
mazhab Mu’tazilah salah.
Cerita yang paling umum
disebut sebagai penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah
kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.
kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.
Menurut suatu riwayat,
ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengangkat diri dari orang banyak di
rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah
untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran
Mu’tazilah, antara lain. Al-Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan
keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : “Saya tidak lagi mengikuti
paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahannya”.
Pada masa pemerintahan
Khalifah al-Makmun serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhaddtisin
semakin gencar. Tak seorang pun para fiqh yang populer dan pakar
hadis yang masyhur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran,
disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-Mihnah
(inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan
berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan
mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli
hadis yang bertakwa.
Politik kekerasan yang
ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah
al-Ma’mun meninggal tahun 833 M, bahkan akhirnya paham Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi Negara dibatalkan oleh Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 856 M.
Sejak itu, kaum Mu’tazilah kembali pada posisinya semula, menjadi lemah, bahkan
menghadapi lawan-lawan yang tiada sedikit dari Islam. Tentu saja lawan yang
paling keras dihadapinya ialah golongan Hanbaliy, pengikut dari imam yang
pernah menjadi korban mihnah di zaman al-Ma’mun. Perlawanan
dari golongan ini akhirnya mengambil bentuk aliran teologi baru yang bertumpu
secara tekstual pada sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi dan
sahabat-sahabatnya. Aliran ini kemudian dikenal dengan aliran tradisional
dengan sebutan Ahl al-Sunnah, atau Asy’ariyah.
Sekarang timbul
persoalan, apa sesungguhya yang menyebabkan al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah?
Rasanya tidaklah mungkin al-Asy’ari yang pernah menganut Mu’tazilah puluhan
tahun dan menjadi juru debatnya, tiba-tiba meninggalkan aliran itu hanya karena
tidak puasnya menerima jawaban al-Jubba’iy. Patut kiranya dipertimbangkan jika
dalam hal ini Harun Nasution menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa
al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran ini tidak
dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berpikirnya.
Apalagi ketika itu Mu’tazilah telah berada kembali pada posisi lemah,
sebaliknya Ibn Hanbal dan para pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin
kuat di bawah lindungan penguasa baru Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil. Dengan
kata lain, mungkin saja al-Asy’ari melihat betapa bahayanya jika umat Islam
dibiarkan hidup tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti
teologi Mu’tazilah yang telah ditinggalkan itu.
Kemungkinan lain juga
mungkin disebabkan seperti pendapat berikut bahwa :
Sebagai seorang muslim
yang gairah akan keutuhan umat muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah
yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan
akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist
(al-hasywiah-the gross anthropomorphist of some of the traditionalist)
yang hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya yang
hamper menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.
Secara faktual hal ini
juga disebabkan adanya inkuisisi pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang memicu
kebencian sebagian besar umat Islam kala itu terhadap orang-orang Mu’tazilah.
Adanya al-mihnah yang
dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap kelompok lain yang tak sepaham
dengannya, ternyata menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi
perkembangan aliran Mu’tazilah selanjutnya. Mereka mendapat tantangan keras
dari umat Islam lain. Setelah adanya peristiwa ini kaum Mu’tazilah tidak lagi
mempunyai peranan politik yang berarti, dan menyebabkan timbulnya aliran
oposisi yang kuat dan siap sedia untuk menciptakan alasan guna memojokkan kaum
Mu’tazilah. Perlawanan tersebut kemudian mengambil bentuk aliran teologi baru
yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.935
M). Dia menghabiskan waktunya untuk berdebat melawan teori-teori Mu’tazilah,
mempertahankan keyakinan barunya, dan menggunakan senjata yang sama dengan
Mu’tazilah_yaitu pembuktian melalui akal, yang sangat tidak disukai oleh mazhab
Hanbali. Pada hakikatnya al-Asy’ari mengambil jalan tengah di antara dua titik
ekstrem yang sangat mengandalkan akal, seperti para pengikut Ibn Hanbal.
Meskipun demikian al-Asy’ari
tetap mengaku sebagai pengikut Hanbali. Dalam tulisannya, dia berkata, “Ucapan
kami yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah
dan Sunnah Nabi-Nya, riwayat sahabat, tabi’in, dan para imam hadis. Kami sangat
memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan oleh Ibn Hanbal
(semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, meninggikan kedudukannya).
Orang-orang yang menentang pendapatnya menjauh, karena itu adalah imam yang
memiliki kelebihan, sempurna, dan diberi kebenaran oleh Allah swt, ketika
muncul kesesatan.”
Berdasarkan uraian di
atas, penulis mempunyai pemikiran bahwa latar belakang timbulnya aliran
al-Asy’ariah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain yang paling krusial
kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan
diabaikan oleh umat Islam. Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman
spiritualnya tidak menutup kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki
yang terpancar dalam hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia
itulah suatu kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.
2.2
Biografi dan Karya Abu al-Hasan
al-Asy’ari
Dalam Shorter
Encyclopaedia of Islam karya H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers disebutkan bahwa
“Al-Asy’ari, Abu al-Hasan, famous theologian, born at Basra in the year 260 H /
873 M. The complete genealogy is : Ali b. Ismail b. Ishak b. Salim b. Ismail b.
Abd. Allah b. Musa b. Bilal b. Abi Burda. Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya
adalah “Ali bin Ismail bin Basyr Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin
Musa bin Bilal Abi Bardah bin Abdullah bin Abi Musa al-Asy’ari.
Adapun masa hidupnya,
al-Asy’ari terlahir pada tahun 260 H (873 M) dan wafat pada tahun 524 H
(935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun Qomariyah/Hijriyah
atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi.
Kehidupan al-Asy’ari
kesil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada umumnya. Karena sejak kecil dia
telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya, Ismail. Dan ibunya kemudian
dipersunting oleh Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah.
Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asy’ari dididik dan dibesarkan.
Seorang ahli hukum
Islam (fiqih) terkenal, pemuka teolog Islam dan pendiri aliran Asy’ariyah. Ia
mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi s.a.w, yaitu Abu Musa al-Asy’ari
r.a yang banyak meriwayatkan hadis beliau. Pada bidang teologi beliau banyak
berguru pada Ali al-Jubbai; demikian juga beliau belajar fiqhi Syafi’i kepada
seorang faqih yaitu Abu Ishak al-Maruzi seorang tokoh Muktazilah di Basrah.
Adapun karya-karyanya,
di antaranya beberapa judul yang sampai kepada kita ialah :
1.
Al-Ibanah ‘an Ushul
al-Diyanah (Dalam kitab ini memaparkan berbagai hal pokok
keagamaan yang didasarkan pada pemikiran kalamnya dan kemudian menjadi acuan
bagi kaum Sunni).
2.
Al-Luma’ (Kitab ini lebih
menyoroti argumen-argumen lawan atau aliran kalam yang dianggapnya tidak benar,
dan memberikan dalil-dalil naql (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta argumen
akal yang relevan.
3.
Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. (Pokok-pokok kitab ini menguraikan tentang bermacam-macam golongan Islam
beserta pendapat masing-masing dan lebih merupakan kajian comparative
(perbandingan). Sehingga terlihat jelas mana kelompok Alussunnah Waljamaah
berada).
2.3
Pokok-Pokok Ajaran al-Asy’ariah.
Formulasi pemikiran
al-Asy’ariah, secara essensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara
formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Muktazilah di sisi lain. Dari segi
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualisasi
formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Muktazilah,
sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
a. Zat dan Sifat Tuhan.
Menurut al-Asy’ari, Zat Tuhan tidak bisa disamakan dengan zat (esensi)
makhluk. Maka apabila dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata wajh (muka), yad
(tangan), dan ‘ain (mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan, seperti
yang tersebut dalam ayat-ayat yang berbunyi :
QS. al-Rahman ayat 27 :
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
QS. al-Fath ayat 10 :
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. tangan Allah
di atas tangan mereka,
Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu
akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah
Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
QS. at-Thuur ayat 48 :
“Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu
berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika
kamu bangun berdiri.”
tidak bisa disamakan dengan wajah, tangan, dan penglihatan manusia atau
dengan apa yang ada pada makhluk-Nya. Hal itu bila kaifa (tidak bisa
ditanyakan bagaimananya).
Nama-nama Allah tidak dapat disebut bukan Allah, dan Allah swt yang
mempunyai Ilmu, Mendengar dan Melihat merupakan sifat yang ditetapkan
kepada-Nya, dan tidak dapat dinafikan dari-Nya.
Jadi menurut al-Asy’ari, Allah tidak memiliki tangan, wajah, singgasana dalam
bentuk materil_seperti kata Ahlussunnah_meskipun hal ini berbeda dengan yang
ada pada makhluk. Namun menurutnya seorang muslim wajib mengimani bahwa Allah
memiliki tangan, wajah dan singgasana tanpa usah bertanya-tanya bagaimana
adanya sifat-sifat ini bagi Allah.
b. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia.
Menurut al-Asy’ari, Kekuasaan Tuhan (predestination) adalah mutlak.
Dia Mutlak Berkehendak dan Berbuat. Maka tidak ada sesuatu pun yang terjadi
pada manusia dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan Kehendak-Nya dan
Kekuasaan Mutlak-Nya. Dengan demikian, maka perbuatan manusia tidaklah
diciptakan oleh manusia itu sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan
bersamaan dengan wujud perbuatan itu, manusia memiliki andil yang disebut Kasb
(usaha).
Perbuatan manusia menurut
al-Asy’ari disebut al-Kasb dan tidak ada fi’il bagi kasb kecuali
Allah. Demikian juga tidak ada khaliq kecuali Allah. Tidak ada orang
yang mampu menciptakan secara hakiki kecuali Allah. Perbuatan mesti fa’il
secara hakiki. Karenanya, Kasbi mestilah dari muktasib yang memberi kasb
secara hakiki. Perbuatan baik seperti iman, dan perbuatan jahat seperti kufur,
sebenarnya Allah yang menciptakannya.
Tampaknya al-Asy’ari ingin
mengkompromikan antara paham Qadariah dan Jabariah tentang perbuatan manusia,
usaha mengkompromikan ini dikenal dengan konsep “al-kasb”.
Berdasarkan teori ini mereka
memandang bahwa perbuatan manusia baik yang dilakukannya secara terpaksa atau
atas ikhtiarnya adalah ciptaan Allah, qudrat manusia tidak bisa memberikan
pengaruh pada perbuatannya, tetapi ia memiliki apa yang disebut Kasb
yang selalu mengiringi qudrat yang terjadi pada manusia untuk perbuatan tanpa
ada pengaruh pada qudrat itu.
c. Kalam Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Tuhan ini dibedakannya
menjadi dua, yakni adanya Kalam Nafsi dan kalam Lafzi Kalam Nafsi
adalah kalam dalam artian abstrak, ada pada Zat (Diri) Tuhan. Ia bersifat
qadim dan azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan
tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk.
Sedangkan kalam Lafzii adalah kalam dalam artian sebenarnya (hakiki). Ia
dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an
yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis
(baru) dan termasuk makhluk.
d. Tentang Ru’yah kepada Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang ru’yah kepada Tuhan (melihat
Tuhan di Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena Tuhan berfirman dalam
QS. al-Qiyamah ayat 22-23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (23) Kepada
Tuhannyalah mereka Melihat(24).”
Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihat-Nya
pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu
yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama
seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada.
Pada hari kiamat, Allah dapat
dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh orang yang
beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya.
Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian gunung
pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat.
e.
Tentang Pelaku Dosa
Besar.
Tentang pelaku dosa besar, pemikiran al-Asy’ari terlihat jelas penolakannya
terhadap pemikiran kalam Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang
berdosa besar dan mati sebelum bertobat nasuha ia kekal di neraka.
Menurut al-Asy’ari, pendapat Mu’tazilah yang demikian itu jelas-jelas
bertentangan dengan al-Sunnah serta hak pengampunan Tuhan. Dalam keterangan
beberapa al-Sunnah, dinyatakan bahwa kalaupun berdosa besar, selama di hatinya
masih ada iman, seseorang tidak kekal di neraka. Dan dalam keterangan beberapa
ayat al-Qur’an, ditegaskan bahwa hanya orang-orang yang musyrik dan kafirlah
kekal di neraka.
Imam Asy’ari tidak
mengkafirkan seorang muslim atau dosa yang telah diperbuatnya, seperti zina,
mencuri, dan minum khamer, karena orang yang melakukan dosa besar tersebut
pasti meyakini dan percaya bahwa sebenarnya perbuatan yang dilakukannya
merupakan perb uatan haram.
Sementara itu Tuhan adalah
berkuasa dan Berkehendak Mutlak. Sehingga menjadi hak mutlak-Nya pula untuk
mengampuni atau tidaknya dosa para hamba-Nya yang beriman. Sehubungan dengan
ini, maka yang pasti, menurut al-Asy’ari, pelaku dosa besar yang beriman
tidaklah kekal di neraka. Yang kekal di neraka haruslah orang musyrik dan
kafir. Dan berkaitan dengan pengampunan Tuhan, maka terserah Dia, apakah dosa
besarnya itu diampuni langsung masuk surga, ataukah disiksa terlebih dahulu di
neraka, kemudian diampuni dan dimasukkan ke surga; hal ini mutlakl urusan
Tuhan.
Menyangkut masalah Kekuasaan
Tuhan Beliau berpendapat bahwa tidak ada sesuatupun yang bias menghalangi
kekuasaan Tuhan dan menolak keberadaan dari semua penyebab. Kalau siang
mengikuti malam, maka itu hanya karena Tuhan dengan kasih-Nya memudahkan
pengulangannya. Dalam hal ini tidak ada kekekalan. Tuhan menciptakan dunia baru
setiap saat. Meskipun beliau menerima takdir yang telah ditentukan sebelumnya,
namun beliau juga memakai konsep “perolehan” (kasb), yang akan membuat manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya.
Beberapa pandangan Imam
Al-Asy’ari tentang pertanyaan kubur dan masalah gaib, telaga kautsar, dan
syafa’at Nabi Saw. ;
1) Pertanyaan
Kubur Dan Masalah Gaib
Dan aku (Al-Asy’ari) meyakini adanya Dajjal,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah Saw. bahwa meyakini adanya
malaikat siksa kubur serta adanya Munkar dan Nakir yang menanyakan orang-orang
mati di dalam kuburnya. Aku (Al-Asy’ari) membenarkan hadits tentang Isra’ dan
Mi’raj dan mengabsahkan kebenaran sebagian takwil mimpi, di mana sebagian dari
mimpi-mimpi itu memiliki penakwilan yang benar. Bahkan aku membenarkan sedekah
serta doa bagi orang-orang Muslim yang telah meninggal dunia. Sebab Allah Swt.
niscaya memberi manfaat dengan semua itu. Aku pun membenarkan bahwa di di dunia
ini memang ada sihir dan tukang sihirnya dan Aku (Al-Asy’ari) pun mewajibkan
shalat jenazah bagi seseorang Muslim yang telah meninggal dunia, baik dia itu
saleh maupun tidak, bahkan aku membenarkan pembagian harta warisannya.
Surga dan neraka itu makhluk ciptaan Allah Swt.
dan orang-orang yang meninggal dunia ataupun terbunuh itu menerima takdirnya
berdasarkan suatu ketentuan yang pasti. Bahkan tentang rezeki yang halal
ataupun yang diperoleh manusia, itu berasal dari Allah Swt. jua dan berbeda
anggapan kaum Mu’tazilah atau Jahamiyah, aku mengetahui bahwa setan mampu
menghasut dan menyeret manusia agar ragu-ragu, sebagaimana yang
difirmankan-Nya:
“Orang-orang
yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
(QS.Al-Baqarah:275)
“Dari kejahatan
(bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam
dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia”. (QS.An-Nas:4-6)
Golongan Mu’tazilah tidak mengakui adanya azab
kubur. Padahal masalah ini banyak keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi Saw.
“Dari sahabat
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Kami berlindung kepada
Allah dari siksaan kubur”. (Al-Hadits)
Allah Swt. berfirman:
“Kepada Fir'aun
dan pembesar-pembesar kaumnya, Maka mereka ini takbur dan mereka adalah
orang-orang yang sombong”. (QS. Al-Mu’minun:46)
Anas bin Malik meriwayatkan hadits, bahwa Nabi
Swt. bersabda:
“Kalau tidaklah
kamu akan saling kubur-mengubur, niscaya aku memohonkan kepada Allah agar Dia
memperdengarkan azab kubur kepadamu, sebagaimana Dia telah memperdengarkannya
kepadaku”.
(Al-Hadits)
Allah Swt. menjelaskan bahwa orang yang mati
syahid di dunia akan memperoleh rezeki dan gembira di akhirat.
“Janganlah kamu
mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu benar-benar mati,
tetapi mereka tetap hidup di sisi Tuhannya dengan memperoleh rezeki. Mereka
gembira ria karena karunia Allah yang diberikan yang diberikan-Nya kepada
mereka, bahkan pun bersenang hati terhadap orang-orang yang masih tertinggal di
belakangnya, yang belum menyusul mereka, yang mereka tidaklah khawatir terhadap
mereka dan tidaklah mereka bersedih hati”. (QS. Ali Imran:169-170)
2)
Telaga Kautsar
Orang-orang Mu’tazilah tidak mengakui adanya
telaga kautsar. Padahal masalah ini terdapat pada keterangan dari ayat, hadits
dan riwayat sahabat. Di antaranya:
“Dan Ahmad bin
Hamdillah bin Yunus meriwayatkan bahwa telah menceritakan kepada kami, Ibnu
Zaidah dari Abdul Malik bin Umair dari Jundah Ibnu Sufyan berkata: Aku
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Aku (Nabi) tinggalkan untuk kalian telaga
kautsar dalam berbagai berita yang banyak”. (Al-Hadits)
3)
Syafaat Nabi Saw.
Orang-orang yang bertauhid serta orang-orang
Mukmin itu mesti masuk surga ataupun neraka, kecuali mereka yang benar-benar
telah diberi kesaksian oleh Rasulullah Saw. Aku (Al-Asy’ari) tetap memohon
kiranya orang-orang Muslim yang berdosa dapat memasuki surga, sebab aku sangat
mengkhawatirkan seandainya mereka mendapat siksaan neraka. Tetapi Allah Swt.
niscaya mengeluarkan orang-orang Mukmin dari neraka. Tetapi Allah Swt niscaya
mengeluarkan orang-orang Mukmin dari neraka, setelah mereka diberi syafa’at
oleh Rasulullah Swt. sebagaimana hadits-hadits riwayat yang disampaikan dari
beliau sendiri. Aku (Al-Asy’ari) pun yakin bahwa siksa kubur syar itu benar, bahwa timbangan seta
kebangkitan alam mah (al-mizan) serta
jalan (as-shirat) itu benar, begitu
pun kebangkitan kubur setelah mati itu benar, di mana setelah itu Allah Swt.
menempatkan orang-orang Mukmin di suatu tempat pengadilan.
Sebagaimana syafaat itu tidak hanya bagi
orang-orang Mukmin yang digembirakan dan dijanjikan surga, dan orang-orang yang
berdosa.
Imam Al-Asy’ari berpijak pada hadits berikut:
“Diriwayatkan
bahwa sesungguhnya Syafa’at Nabi Saw. diperuntukkan bagi orang-orang yang
berdosa besar. Dan menurut riwayat yang lain bahwa orang-orang berdosa itu pada
satu waktu kelak dan akan dikeluarkan dari neraka”.
Golongan Syi’ah Imamiyah dan Mu’tazilah
memperdebatkan masalah syafa’at dan
Al-Asy’ari bersikap moderat.
“Hubungan
dengan syafa’at, golongan Syi’ah Imamiyah berpendapat: Sesungguhnya bagi
Rasulullah Saw. itu memiliki syafa’at, dan demikian juga imam-imam
(pemimpin-pemimpin Syi’ah) itu dianggapnya memiliki syafa’at. Golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada syafa’at bagi seseorang. Imam Al-Asy’ari
menempuh jalan tengah. Dia berpendapat bahwa sesungguhnya bagi Rasulullah saw.
itu memiliki syafa’at yang diterima oleh orang-orang Mukmin yang menerima
siksaan. Rasulullah Saw. memberi syafa’at kepada mereka atas perintah dan izin
Allah. Dan tidak memberi syafa’at melainkan bagi orang yang memperoleh
keridhaan-Nya, seperti para Rasul as. Semuanya”.
Sesungguhnya,
keimanan itu ialah sesuatu yang bisa bertambah ataupun berkurang, bisa naik dan
bisa turun. Dalam hal ini berdasarkan pada hadits-hadits yang shahih. Dan aku
(Al-Asy’ari) pun yakin bahwa kecintaan (mahabbah)
para ulama salaf itu, yang telah dipilih Allah Swt. begitu begitu besarnya terhadap
para sahabat Nabi Saw. mereka itulah orang-orang yang beliau sanjung,
sebagaimana Allah Swt. menyanjung mereka; dan aku (Al-Asy’ari) pun selalu
mengikuti pandangan-pandangan mereka itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa Abu
al-Hasan al-Asy’ari mempunyai pokok-pokok ajaran yang menekankan kepada konsep
pemikiran tentang Zat (esensi) Allah swt yang merupakan sifat-sifat yang
melekat pada zat Allah. Al-Asy’ari mengakui eksistensi sifat-sifat Allah
seperti yang termaktub dalam al-Qur’an (Asmaul Husna), namun dalam
pemikirannya, sifat-sifat tersebut tidak bias disamakan dengan sifat-sifat yang
ada pada makhluknya karena Allah berbeda dengan makhluk, tak sesuatupun yang
menyerupai-Nya.
Tentang Perbuatan Tuhan dan kebebasan manusia berbuat dikenal dengan teori kasb.
Al-Asy’ari juga meyakini bahwa kalam Allah itu terdiri dari dua; kalam
Nafzi dan kalam Lafzi. Kalam Nafzi itu ada pada diri Allah yang bersifat qadim
dan azali, dan ini bukan makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah susunan huruf,
bunyi yang disuarakan ketika kita membaca al-Qur’an, itulah yang bersifat baru
dikategorikan makhluk.
Menurut al-Asy’ari, orang-orang beriman itu dapat melihat Allah di akhirat,
tapi di dunia mustahil, seperti cerita tentang Nabi Musa yang digambarkan tadi
di atas. Tentang pelaku dosa besar, al-Asy’ari berpendapat bahwa; orang mukmin
melakukan dosa besar selama di hatinya
masih ada iman akan mendapat pengampunan dari Allah.
Dari pembahasan tersebut maka kajian merupakan upaya memahami pemikiran besar
teologi Imam Al-Asy’ari, sebagai pendekar paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sebagai orang yang semula mengikuti paham
Mu’tazilah dan berguru langsung kepada Imam Abu
Ali Al-Jubba’i, tentunya beliau paham benar terhadap ajaran-ajaran
Mu’tazilah. Bahkan dia bukan hanya paham ajaran-ajaran Mu’tazilah saja yang
sesat dan ditolaknya, tetapi juga ajaran-ajaran golongan-golongan Jahamiyah,
Qodariyah, dan sebagainya.
Hal ini
terdapat dalam keempat kitab karangannya: Maqalat
Islamiyyin Wakhtilaf al-Mushollin, Kitab al Luma’ Fir Radd ‘Ala Ahliz-Zhaiqi
Wal Bida’, Al-Ibanah ‘An Ushul al-Dinayah dan Risalah Ihtihsan al-Khaudhi Fi Ilm al-Kalam. Dengan demikian,
corak pemikirannya disusun secara dialogis.
Menyebutkan masalah lebih dahulu, kemudian dijawab dengan argumentasi-argumentasi
rasional, lalu menyebut ayat Al-Qur’an atau al-Hadits yang berkaitan sebagai
argumen.
Masalah yang
dianggapnya penting sekali, Al-Asy’ari kemukakan beberapa argumentasi. Misalnya
masalah rukyatullah, dengan panjang
lebar dijelaskan sampai 12 alasan. Bahwa rukyatullah di dunia ini memang mustahil, itu jelas. Akan tetapi di
akhirat kelak, rukyatullah itu mungkin bagi
orang-orang yang beriman sebagai puncak nikmat surgawi.
Pola
pemikirannya memang bercorak kompromis atau moderat, sebagaimana ditegaskan
oleh Syaikh Muhammad Abduh.
“Dia berjalan di tempat yang dikenal
tengah-tengah antara keyakinan orang-orang Salaf dan keyakinan orang-orang yang
menentangnya”.
Kajian teologi
memang normatif, filosofis, dan rumit.
Kadang-kadang Imam Al-Asy’ari berhasil mengeliminasi
suatu masalah, tetapi kadang-kadang agak larut
condong ke dalam salah satu pendapat. Misalnya tentang qadar dan ikhtiar manusia, pada akhirnya dia agak condong ke paham
Jabariyah. Sedangkan Imam Al-Maturidi, yang sama-sama pendekar Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, dalam masalah tersebut ternyata berbeda dengannya, agak condong ke
pemikiran Qadariyah dan Mu’tazilah.
Memerhatikan
corak pemikiran kaum muslimin dan termasuk di Indonesia mayritas mengikuti
paham Imam Al-Asy’ari, antara lain berkat perjuangan gigih pengikut-pengikut
untuk membela teologinya dari kalangan ulama-ulama terkemuka seperti Imam-Imam:
Abu Bakar Al-Baqillani, Haramain Al-Juwaini, Asfarayini, Al-Ghazali dan
Ar-Razi, maka penyebaran secara konkret pemikirannya itu dimulai, terutama atas
dukungan Khalifah Al-Mutawakkil
(847-861M) dari khalifah Bani Abbasiyah dan Nizham al-Muluk, Wazir Bani Saljuk,
kemudian Wazir mendirikan Madrasah
Nizhamiyah dan menjadikannya markas sentral penyebarluasan kalam
Al-Asy’ari. Sejak waktu itu, maka posisi paham Al-Asy’ari telah mendominasi
seluruh wilayah Bani Abbasiyah. Kejayaan Mu’tazilah tidak terlepas dari
dukungan khilafah-khilafah Bani Abbasiyah, dan nyaris dengan kekerasan dan
pemaksaan kehendak, terutama masalah khalqul
Qur’an yang mana banyak ulama-ulama yang ditangkap atau dipenjara karena
tidak sepaham dengan Mu’tazilah. Penyebaran paham Al-Asy’ari tidak terlepas
dari dukungan secara politis oleh khalifah Al-Mutawakkil dan Wazir Nizham al-Muluk.
Kajian langsung
terhadap pemikiran teologi Al-Asy’ari masih sangat perlu digalakkan, dengan
cara melakukan kajian langsung terhadap kitab-kitab karangannya. Dengan
demikian, orang akan paham benar corak teologinya itu. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari pengakuan sebagai pengikut paham sunni. Kenyataan yang
ada bahwa selama ini kebanyakan orang hanya mencukupkan mempelajari teologi
Asy’ariyah, belum langsung ke pemikiran Imam Al-Asy’ari itu sendiri. Masyarakat
umumnya baru mempelajari kitab-kitab tauhid seperti: Akidatul Awam, Tijan al-Durari, As-Sanusi, Jawahir al-Kalamiyah,
Kifayat al-Awam, Hushun al-Hamidiyah dan lain-lain.
Kiranya sudah
tiba waktunya ada kelompok yang mulai mempelajari teologi-teologi non
Al-Asy’ari, untuk memperlus khazanah dan wawasan di era globalisasi informasi
seperti sekarang ini. Secara komparatif-muqaranah harus mulai dilakukan
kajian-kajian terhadap pemikiran teologi: Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah,
Jabariyah, Murji’ah, dan terutama Syi’ah. Sejak adanya revolusoi di Iran di
bawah pimpinan Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, maka gaung paham Syi’ah
menyebar ke seluruh penjuru dunia. Karena kemenangan revolusi tersebut, berarti
sebuah kemenangan bagi golongan Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah yang merupakan mazhab
resmi Iran dan keberhasilan kaum penguasa Reza Pahlevi. Terbitan tentang Syi’ah
telah membanjiri bursa buku dan lainnya yang bisa ditemukan secara mudah.
Di samping itu,
sebagai orang Sunni seharusnya tidak hanya mengkaji teologi Al-Asy’ari saja,
tetapi harus menggagas kajian terhadap teologi Imam Al-Maturidi. Nama
lengkapnya Abu Mansur bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi, hidup
248-333H/862-944M. Di Samarkand, wilayah Uzbekistan. Dia memiliki karangan
Kitab al-Tauhid, merupakan cerminan
pokok pandangan teologinya.
Sekarang ini
sudah tiba saatnya berani membuka dan membeberkan wacana baru dalam memahami
dan menyebar luas paham Sunni, dengan cara menerabas langsung teks-teks
aslinya, di samping komperatif terhadaf teologi non-Sunni.
Kajian-kajian
model tersebut memang sudah banyak dilakukan atau sekurang-kurangnya dirintis
pada program pascasarjana jurusan Studi Islam, namun hal itu belum menembus ke
lembaga-lembaga Islam lainnya dan masyarakat. Harus ada upaya yang bisa
menjembatani antara kelompok intelektual Muslim Studi Islam dengan kelompok
kalangan pondok pesantren untuk membangun dinamika baru pemikiran keagamaan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah
ini, penulis menarik suatu kesimpulan, bahwa secara histories timbulnya
aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali pada
pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya
al-Asy’ari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu
menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu
mengedepankan akal pikiran untuk memahami wahyu, berangkat dari akal kemudia
wahyu. Tapi al-Asy’ari sebaliknya mengedepankan wahyu disbanding akal, menggunakan
akal seperlunya saja. Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu
mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum rasionalis
tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok pemikirannya.
3.2
Saran
Dalam memahami tentang
teologi islam kita memang harus benar-benar bersikap netral agar tidak
menimbulkan suatu pemikiran yang negatif terhadap aliran yang tidak sefaham
dengan kita. Aliran Al-Asy’ariyah dalam doktrinnya memberikan alternatif jalan
tengah untuk menghindari perpecahan agama dan kehancuran dalam hal akidah. Kita
harus bisa memilah-milah mana yang baik dan yang tidak baik dari aliran
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam. Cet.VII;
Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001.
A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam).Jakarta:Rajawali Press,2010
Al-Asy’ari. Al-Imam Abul Hasan, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan
oleh Muhammad Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu
as-Sunnah wal Jamaah”, Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Haq. Hamka, Dialog: Pemikiran Islam. Makassar:
Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Iskandar Al-Barsany.
Noer, Biografi dan Garis Besar Pemikiran
Kalam Ahlussunnah Waljamaah. Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2001.
Madkour. Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
Penerjemah; Drs. Yudian Wahyudi Asmin. Bumi Aksara, t.th.
Yatim,. Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2006.
Comments
Post a Comment