essai
SISTEM PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
“RELASI NEGARA-WARGA”
diajukan sebagai
salah satu tugas pada mata pelajaran
BAHASA INDONESIA
Disusun oleh;
MUGNI SULAEMAN
XII IPA 1
MADRASAH ALIYAH
NEGERI CIPASUNG
Singaparna-tasikmalaya
SISTEM PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF
“RELASI NEGARA-WARGA”
Isu tentang Sistem
Pendidikan Nasional (sisdiknas) kembali relevan untuk dibahas terkait dengan
dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9 Tahun 2009).
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tersebut merupakan salah satu turunan dari
undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas)
yang mana pada fasal 53 ayat 1 – 4, menyebutkan secara tersurat tentang
perlunya kehadiran UU-BHP.
Ada tiga aspek penting
yang perlu mendapat sorotan dalam kasus ini. Pertama adalah negara, yang
menempati posisi sebagai regulator dalam kehidupan berbangsa. Kedua adalah
warga, yang menempati posisi sebagai pendukung sustainabilitas pembangunan
bangsa. Dengan berbagai karakteristik, kapabilitas dan kepentingan (intest)
yang dimiliki, warga negara menjadi modal dasar dalam pembangunan bangsa.
Ketiga adalah pendidikan itu sendiri sebagai instrumen pembangunan bagi suatu
bangsa untuk membangun kehidupan yang lebih baik yang berbudaya dan beradab.
Secara ontologis, relasi
negara dan warga negaranya merupakan kajian dari disiplin ilmu politik dan ilmu
administrasi negara. Salah satu teori negara yang umum adalah teori hukum alam
dari Thomas Hobbes atau/dan John Locke.
Menurut teori hukum alam, bahwa negara itu lahir karena adanya kesepakatan dari
masing-masing individu, atau kelompok, atau suku untuk membentuk suatu
organisasi besar yang mengurusi kepentingan-kepentingan bersama. Masing masing
individu, dan kelompok, dan suku tersebut akan menyerahkan sebahagian dari
hak-hak dan kewenangannya (dibidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, dan
lain-lain) kepada organisasi besar tersebut, dan sebagai kompensasinya, maka
individu, keluarga, kelompok, atau suku tersebut mendapat perlindungan dari
negara atau organisasi tersebut. Penyerahan sebahagian hak di bidang
pendidikan dan kebudayaan, membawa implikasi bahwa warga mesti patuh pada aturan bersama (kontrak yang telah disepakati), dalam ikhtiarnya untuk belajar, mengembangkan dan memajukan dirinya.
pendidikan dan kebudayaan, membawa implikasi bahwa warga mesti patuh pada aturan bersama (kontrak yang telah disepakati), dalam ikhtiarnya untuk belajar, mengembangkan dan memajukan dirinya.
Dalam kehidupan modern
sekarang, eksistensi negara telah menjadi fakta yang ada di berbagai belahan
bumi dengan berbagai macam bentuk kontrak atau hukum yang mengatur warganya.
Setiap orang sejak lahir dan selama hidupnya, telah membagi dan menyerahkan
sebagian hak dan hajatnya di bidang pendidikan (dan tidak hanya terbatas pada
urusan pendidikan) kepada negara. Dan pada sudut pandang lain, bahwa negara
secara an-sich telah menjadi suatu entitas yang bertanggung jawab dan memegang
wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan kepada warganya dan dalam rangka
memenuhi hajad wargaya di bidang pendidikan..
Beberapa alasan filosofis,
mengapa negara mesti mengurusi urusan pendidikan warganya, adalah sebagai
berikut: Pertama, warga-negara, sebagian atau seluruhnya, belum atau tidak
dapat menyelenggarakan urusan pendidikan
secara layak dan memadai. Dalam konteks ini, negara diasumsikan sebagai
organisasi yang besar dan kuat sehingga mempunyai sumberdaya yang diperlukan
bagi terselenggaranya pendidikan yang layak dan memadai. Disisi lain, warga
negara diasumsikan sebagai tidak berdaya karena sebab-sebab tertentu. Contoh
dari kondisi seperti ini adalah pada negara yang baru melepaskan diri dari
jajahan bangsa lain, sehingga kondisi ekonomi rakyatnya berada pada garis
kemiskinan. Dalam kondisi seperti ini, negara menyediakan pendidikan kepada
seluruh rakyatnya secara merata. Pendidikan menjadi hak bagi setiap
warga-negaranya tanpa pandang bulu. Dalam perspektif kepentingan negara
penyediaan jasa pendidikan oleh negara
kepada rakyatnya adalah logis, karena negara yang baru merdeka,
memerlukan rakyat sebagai salah satu persyaratan dari eksistensinya.
Kedua, warga-negara,
sebagian atau seluruhnya, belum atau tidak mempunyai kesadaran akan pentingnya
pendidikan untuk dapat hidup dan berkompetisi di alam global seperti sekarang.
Pada alasan kedua, negara diasumsikan sebagai
suatu organisasi yang dilengkapi dengan pengurus (eksekutif) yang cerdas
dan unggul. Pengurus (eksekutif) ini bertugas memobilisir warganya atau
anggotanya melalui serangkaian gerakkan penyadaran untuk mengikuti pendidikan. Contoh dari kondisi
seperti ini adalah pada negara-negara berkembang. Negara perlu mengkampanyekan
pentingnya pendidikan dan pembebasan buta huruf/aksara (illiteracy) bagi
warganya.
Alasan Ketiga adalah,
bahwa negara memerlukan warga-negara yang berkualitas (Human Resources) dalam
rangka mempertahankan eksistensinya dan merealisasi tujuannya. Negara memandang
warganya sebagai sumber daya potensial
yang mesti dikembangkan dalam rangka meningkatkan posisi, harkat, dan martabat negara di tengah
pergaulan internasional. Warga negara yang kuat, berani, ulet dan terampil, dan
kreatif sangat diperlukan dalam rangka menghadapi pesaing-pesaing dari negara
lain. Dalam hal seperti ini, maka negara dapat saja mewajibkan warganya untuk
mengikuti pendidikan dalam rangka mencipta sumberdaya yang unggul dan
berkualitas. Pendidikan menjadi hal wajib bagi setiap warga-negaranya. Contoh
dari kondisi ini adalah pada negara maju dan negara berkembang. Negara
menyediakan berbagai fasilitas dan infrastruktur untuk mendukung terciptanya
sumberdaya manusia (human resources) yang berkualitas sebagai human capital
dalam pembangunan.
Pada negara maju dan
berkembang (termasuk Indonesia), keberadaan institusi di luar negara seperti
paguyuban, organisasi, dan kelompok-kelompok yang terikat oleh persamaan
kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya tumbuh dan berkembang seiring dengan
meningkatnya kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat. Kelompok ini mempunyai
sumberdaya manusia yang berkualitas. Perannya sangat signifikan dalam membantu
negara menyelesaikan masalah pembangunan. Dalam banyak hal kelompok ini menjadi
sparing partners pemerintah dalam pembangunan. Dalam ilmu politik kelompok
tersebut dikenal dengan istilah masyarakat warga, masyarakat sipil, atau
masyarakat madani. Lembaga-lembaga tersebut mempunyai kemampuan dan sumberdaya
untuk melaksanakan kegiatan ekonomi, sosial dan pendidikan. Mereka membangun
fasilitas dan infrastruktur ekonomi dan budaya dengan kemampuan yang
dimilikinya. Hal ini melahirkan titik singgung antara masyarakat sipil dengan
negara, dan antara masyarakat sipil dengan masyarakat sipil lainnya dalam
urusan publik.
Berdasarkan penjelasan
diatas, maka ada dua bentuk hubungan yang sangat dominan mempengaruhi kehidupan
berbangsa dan bernegara, yakni bentuk hubungan negara dengan warganya (civil
sociaty), dan bentuk hubungan antara sesama warga (civil sociaty). Bentuk
hubungan tersebut mesti terbangun dan terpelihara secara baik, dalam tatanan
keseimbangan yang dibina secara dinamis. Jika tidak ada keseimbangan, maka yang
lahir adalah ketidak adilan, anarkisme, dan/atau otoriter atau
totaliterianisme.
Instrumen yang dapat
membina dinamika keseimbangan hubungan antara negara dan warga (civil sociaty),
dan antar sesama warga (civil sociaty) adalah Undang-Undang dan
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Dalam urusan pendidikan, maka
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional merupakan instrumen untuk membangun
hubungan yang harmonis antara negara dan warga (civil sociaty), dan antara sesama warga dalam urusan pendidikan. Dengan
kata lain Sistem Pendidikan Nasional merupakan rujukan seluruh komponen
masyarakat yang ada di negara Indonesia dalam menyelenggarakan urusan
pendidikan.
Dalam hal ini,
dibatalkannya UU-BHP oleh MK melahirkan kekurangan dari segi unsur/komponen
pembentuk kesempurnaan sebuah sistem pendidikan nasional, yang harus segera
dilengkapi.
Comments
Post a Comment