MAKALAH KUALITAS DAN KUANTITAS HADITS

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran.
            Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
         Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek.


1.2 Tujuan Penulisan
            Penulisan makalah ini bertujuan :
v  Untuk mengetahui lebih rinci lagi tentang pembagian hadits.
v  Untuk lebih memahami pengertian hadits dan macam-macamnya dan syarat-syaratnya.
1.3  Metode Penulisan
1)      Melakukan study putaka
2)      Mencari data-data melalui media internet
1.4 Sistematika Penulisan
            Adapun sistematika penulisan makalah ini kami bagi menjadi 3 bab :
Ø  Bab 1 pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Ø  Bab 11 pembahasan yang terdiri dari pengertian hadits, klasifikasi hadits dari segi kualitas dan kuantitas, Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan,Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad.
Ø  Bab 111 penutup yang terdiri dari keimpulan .

BAB 11

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Hadits

Pengertian Hadits Secara Etimologis

Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.

Pengertian Hadits Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:

اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ وَاَحْوَا لُهُ 

Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
Ada juga yang memberikan pengertian lain, yakni:

مَاأُضِيْفَ إلى النبي ص م قَولاً أو فِعْلاً أوْتَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً

Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.

sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah:

أَقْوَا لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و تُقَرَِّرُهاَ

Artinya: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
       Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.
2.2 klasifikasi hadits dari segi kualitas dan kuantitas
A.Pembagian hadits berdasarkan kuantitas
Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits mutawatir
a. Ta’rif Hadits MutawatirKata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka be

rkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits MutawatirSuatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
   1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
   2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
  3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir     Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Macam–macam hadits mutawatir
·         Mutawatir lafzhi, yaitu yang sesuai lafal para perawinnya, baik dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.
·         Mutawatir ma’nawi, yaitu sesuatu yang mutawatir maksud makna hadits secara konklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh berbeda antara beberapa periwaytaan perawi, tetapi maksud kesimpulannya sama.
·         Mutawatir ‘amali, yaitu perbuatan dan pengalaman syari’ah silamiyah yang dilakukan nabi secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat.

2.      Hadits ahad
a.      Pengertian hadits ahadMenurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
Artinya:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
ما لم يجمع شروط المتواتر.
“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.
       ’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:
هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر.
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir . Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalah defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang mengelompokkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad.
b. Macam – macam hadits ahad
1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu Hadis adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”. 
 Dengan demikian, Hadis Masyhur dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
(1). Hadis Masyhur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih. Contohnya hadis yang berasal dari Anas r.a., dia berkata:
 عليه وسلم قنت بعد الركوع يدعو على رعلٍ وذكوانٍانّ رسول ا
(
رواه البخا رى و مسلم )
Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’ mendo’akan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan. (HR Bukhari dan Muslim).
(2). Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:
أبغض الحلا ل الى اﷲ الطلا ق.} رواه ابو داود وابن ما جه{
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. (HR Abu Daud dan Ibn Majjah”.
(3). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Fiqih, contohnya:
رفع عن أمتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه.} رواه ابن ما جه {
“ Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah(tidak disengaja), lupa, dan perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa.(HR Ibn Majjah).
(4). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis, Fugaha, Ulama Ushul Figh dan kalangan awam, seperti:
المسلم من سلم المسلمون من لسا نه ويد ه, والمها جر من    هجر ما حرّم اﷲ .
}
رواه البخا رى و مسلم {
“ Muslim yang sebenarnya itu adalah orang yang selamat menyelamatkan muslim-muslim lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang berjihad itu adalh orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan yang diharamkan Allah”. (HR Bukhari dan Muslim).
(5). Hadis Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti:
نعم العبد صهيب.
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”
(6). Hadis Masyhur di kalangan awam, seperti:
العجلة من ا لشيطا ن. } رواه الترمذي {
“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR Tirmidzi).
2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
أن لا يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند .
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakan dari Hadis Msyhur.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
هو ما ينفرد بروايته راو واحد.
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut dinamakan Hadis Gharib.
       Menurut Ulama Hadis, Hadis Gharib terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan Gharib Nisbi.
a. Gharib Muthlaq, yaitu:

ما ينفرد بروايته شخص واحد في أصل سنده .
“Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal sanad.”
Contoh Hadis Gharib Muthlaq, mengenai niat:

إنما اﻷعمال بالنّيا ت( أخرجه الشيخا ن)
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”.
Hadis niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di tingkat sahabat.
b. Gharib Nisbi, adalah:

هو ما كا نت الغرابه في أثنا ء سنده.
“Hadis yang terjadi Gharib di pertengahan sanad-nya”.
Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
ما رواه ما لك عن الزهري عن أنس رضى الله عنه أنّ النبي صلى الله عليه و سلّم دخل مكة وعلى رأسه المغفر ( أخرجه الشيخان ) 
“Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup kepala). (HR Bukhari dan Muslim).
c. Faedah hadits ahad     Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu
diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. PembagianHaditst Berdasakan Kualitas :• Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
a. Syarat hadits Sahih adalah
:
       a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil
 Maksudnya adalah tiap-tiap perawi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
      b. Kedhabitan perawinya sempurna maksudnya Periwayat itu harus memahami dengan baik makna dan pengertian riwayat yang telah didengarnya (diterimanya),Periwayat itu memiliki hafalan dengan baik terhadap riwayat yang telah didengarnya itu dengan tanpa terdapat kesalahan atau kekeliruan pengutipan redaksi kata-katanya, Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah didengarnya dan dihafalnya dengan baik kapan saja dia menghendakinya.
     c. Sanadnya bersambung
 Maksudnya adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
     d. Tidak ada cacat atau illat Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
   e. Matannya tidak syaz atau janggal Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
b. Pengertian hadits shahih
   Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
c. Pembagian hadits shahih
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
2. Hadits Hasan
a. Syarat hadits hasan adalah:

a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.

b. Pengertian hadits hasan         Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
c.Pembagian hadits hasan
a.       Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b.      Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
3. Hadits Daif
   a. Pengertian hadits daif
     Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
     Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
b.      Pembagian hadits dhoif
 Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.

2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh : Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4.) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh :Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.


5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh : Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
2.3 Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan    a. Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam;1. Qauli :Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2. Fi’li :Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis terhadap peraturan syariat
3. Taqriri :Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan
    b. Dari penyandaran terhadap matan, hadits dapat dibagi pada;1. Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2. Mauquf : Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa
2.4  Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad      Pembagian hadits berdasarkan sanad, yang ditinjau dari segi persambungan sanad, dan dari segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat dikemukan di bawah ini. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada jenis-jenis.
a. Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW
b. Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi) dalam sanad, dan terbagi lagi kepada
1. Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad (mudawin)
2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda.





BAB 111
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai berikut;  
ü  hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman.
ü  Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
ü  Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
·         Hadits sahih
·         Hadits hasan
·         Hadits dhoif
ü  Berdasarkan bentuk dan  penisbahan matan :
Dari segi bentuk atau wujud matannya :
·         Qauli
·         Fi”li
·         Taqriri
·         Qawni
·         Hammi
          Dari segi penyandaran terhadap matan :
·         Marfu
·         Mauquf
·         Maqtu
·         Qudsi
·         Maudhu
ü  Berdasarkan persambungan sanad :
·         Muttasil
·         Munfasil
v  Muallaq
v  Mursal
v  Munqathi
v  Mu”dal
v  Mudallas




DAFTAR PUSTAKA
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
 Hadits-Ilmu Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I Press
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html

Comments