Makalah Qashash Al-Quran



BAB 11
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Qashash
Menurut bahasa, kata qashash berarti kisah, cerita, berita atau keadaan . Kata kisah berasal dari bahasa Arab qishshah, yang diambil dari kata dasar qa sha sha. Kata dasar tersebut ditampilkan al-Qur’an hingga sebanyak 26 kali. Dari penelusuran ayat-ayat yang menggunakan kata dasar tersebut dapat diambil pengertian sebagai berikut:
Kata dasar qa sha sha terkadang ditampilkan dalam konteks penyebab adanya kisah, sebagaimana firman Allah :
Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al-A’raf 176)
Kata dasar tersebut kadang juga ditampilkan dalam konteks kebenaran atas apa yang disampaikan Rasulullah, sebagaimana firman Allah :
Sesungguhnya Ini adalah kisah yang benar… (QS. Ali ‘Imron 62)
Sebagai sebuah kitab suci, Al-Qur’an memuat kisah-kisah yang tak terkotori oleh oleh goresan pena tangan-tangan jahil dan tidak tercampuri kisah-kisah dusta dan rekayasa. Kisah-kisahnya merupakan kisah yang benar, yang Allah kisahkan untuk segenap manusia, sebagai cerminan dan contoh bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang.
Secara semantik kisah berarti cerita, kisah atau hikayat.  Dapat pula berarti mencari jejak (QS. Al-Kahfi:64); menceritakan kebenaran (QS. Al-An’am:57); menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi (QS. Yusuf:5); dan berarti berita berurutan (QS. Ali Imran:62). Sedangkan kisah menurut istilah ialah suatu media untuk menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian akhir.
2.2   Metodologi Mempelajari Qashash al-Qur’an
Berbagai penelitian tentang kisah dalam al-Qur’an harus memiliki konsep yang jelas dan benar, sehingga dapat merenungkan letak-letak yang mengandung pelajaran dari kisah-kisah orang terdahulu agar tidak keluar menuju ketersesatan, mitos-mitos, dongeng-dongeng, cerita-cerita, legenda bohong. Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa indikator seputar pengamatan terhadap kisah orang-orang terdahulu dan seputar metodologi ilmiah yang benar .
Banyak sekali terdapat metodologi dalam memahami kisah-kisah dalam al-Qur’an, namun diantara yang paling mudah dipahami adalah metode dimana kisah-kisah tersebut di kelompokan dalam katagori “berita-berita gaib” . Kategori gaib dijadikan tawaran metode dengan kenyataan bahwa diantara karakteristik orang-orang mu’min yang paling nyata dan menonjol adalah beriman kepada ayang gaib (transenden),
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka (QS 2 : 3)
selain itu hal ini juga diperkuat dengan landasan dari bagian rukun iman yaitu beriman kepada yang
gaib.
Rasionalitas ghaib dalam karakteristik pemahaman terhadap Islam adalah unsur utama pembentukan rukun iman , dan al-Qur’an sendiri dengan tegas mengkategorikan bahwa kisah-kisah orang-orang terdahulu yang termaktub di dalamnya adalah termasuk ke dalam alam gaib. Dalam memahami kisah gaib dalam al-Qur’an, kisah tersebut dapat ditinjau dari segi waktu, antara lain:
a. Gaib pada masa lalu; dikatakan masa lalu karena kisah-kisah tersebut merupakan hal gaib yang terjadi pada masa lampau, dan disadari atau tidak kita tidak menyaksikan peristiwa tersebut, tidak mendengarkan juga tidak mengalaminya sendiri. Contoh-contoh dari kisah ini adalah:
-  Kisah tentang dialog malaikat dengan tuhannya mengenai penciptaan kholifah di bumi, sebagaimana tercantum dalam QS. [2]: 30-34
30.  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
31.  Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
32.  Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[35].”
33.  Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
34.  Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah[36] kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
[35]  Sebenarnya terjemahan Hakim dengan Maha Bijaksana kurang tepat, Karena arti Hakim ialah: yang mempunyai hikmah. hikmah ialah penciptaan dan penggunaan sesuatu sesuai dengan sifat, guna dan faedahnya. di sini diartikan dengan Maha Bijaksana Karena dianggap arti tersebut hampir mendekati arti Hakim.
[36]  sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
-      Kisah tentang penciptaan alam semesta, sebagaimana diceritakan dalam QS. Al-Furqon: 59 dan QS. Qaf: 38.
-      Kisah tentang penciptaan nabi Adam AS dan kehidupannya ketika di surga, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-A’raf: 7
b. Gaib pada masa kini; dalam artian bahwa kisah tersebut terjadi pada masa sekarang, namun kita tidak dapat melihatnya di bumi ini. Contoh-contoh dari kisah ini adalah;
-      Kisah tentang turunnya Malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar, seperti disebutkan dalam QS. Al-Qadar: 1-5.
-       Kisah tentang kehidupan makhluq-mahkluq gaib seperti setan, jin, Iblis, seperti tercantum dalam QS. Al-A’raf: 13-14.
13.  Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; Karena kamu sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, Maka keluarlah, Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”.
14.  Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya[529] sampai waktu mereka dibangkitkan”.
[529]  Maksudnya: janganlah saya dan anak cucu saya dimatikan sampai hari kiamat sehingga saya berkesempatan menggoda Adam dan anak cucunya.
c. Gaib pada masa depan; dengan penjelasan bahwa semua akan terjadi pada masa depan ( di akhir zaman), Contoh-contoh dari kisah ini adalah;
-   Kisah tentang akan datangnya hari kiamat, seperti tercantum dalam QS. Qori’ah, Al-Zalzalah.
-      Kisah Abu Lahab kelak di akhirat, seperti terdapat pada QS. Al-Lahab.
-      Kisah tentang surga dan neraka orang-orang di dalamnya, seperti dijelaskan dalam QS. Al-Ghosiyah dan surat-surat yang lain.
2.3   Macam-macam Kisah dalam al-Qur’an
Menurut Manna al-Qaththan,  kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:
a. Kisah Anbiya yakni kisah yang mengandung dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
b. Kisah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.
c. Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.
2.4   Unsur-unsur Kisah dalam al-Qur’an
Kisah al-Qur’an ialah segala jenis dan gayanya merupakan gambaran penjelmaan/pergumulan yang abadi antara nilai-nilai kebajikan yang ditegakkan dalam kepemimpinan para nabi untuk memperbaiki kebejatan yang dilancarkan tokoh-tokohnya.  Dari definisi tersebut paling tidak unsur-unsur yang terkandung dalam kisah Qur’an mencakup:
a.   Keadaan atau subyek atau tokoh yang dipaparkan, sekalipun tokoh dimaksud bukan sebagai titik sentral dan bukan pula tujuan dalam kisah bahkan sang tokoh kadang-kadang tidak disebutkan,
b.   Setting waktu, latar belakang lahirnya kisah
c.   Tujuan penggambaran dari suatu keadaan terutama tujuan-tujuan keagamaan, dan
d.   Peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus tetapi secara bertahap atau pengulangan sesuai dengan kronologis peristiwa dan sesuai pula titik tekan tujuan dari kisah. Kisah Qur’ani merupakan gambaran realitas dan logis bukan kisah fiktif. Menurut Mahmud, kisah Qur’ani selalu memberi makna imajinatif, kesejukan, kehalusan budi, bahkan renungan dan pemikiran, kesadaran dan ‘ibrah (pengajaran). Kesadaran dan ‘ibrah ini sebagai wujud derajat takwa dan takwa sebagai wujud martabat yang paling mulia dalam ibadah.
2.5 Hikmah dan Tujuan Kisah dalam al-Qur’an
Dari sudut tinjauan sastra, kisah mempunyai banyak faedah, diantaranya: dapat merangsang pembaca atau pendengar untuk terus mengikuti peristiwa dan pelakunya. Kisah dapat mempengaruhi orang-orang terpelajar maupun awam. Oleh karenanya tidak mengherankan banyak orang menggandrungi cerita meski plotnya telah diketahui sekalipun.
Allah menetapkan bahwa dalam kisah orang-orang tedahulu tedapat hikmah dan pelajaran yang bagi orang-orang yang berakal, serta yang mampu merenungi kisah-kisah itu, menemukan hikmah dan nasihat yang ada di dalamnya, serta menggali pelajarn dan petunjuk hidup dari kisah-kisah tersebut. Allah juga memerintahkan kita untuk bertadabbur terhadapnya, menyuruh untuk meneladani kisah orang-rang yang sholeh dan mushlih, serta mengambil metode mereka dalam berdakwah dalam posisi kita sebagai makhluq dan kholfah di muka bumi ini.
Diantara hikmah yang dapat kita ambil dari kajian kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti yang disebutkan oleh Manna Khalil al-Qattan dan Ahmad Syadali dalam buku mereka masing-masing antara lain sebagai berikut;
  1. Menjelaskan asas-asas dan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok pokok syari’at yang diajarkan oleh para Nabi.
  2. Meneguhkan Hati Rosulullah SAW dan umatnya dalam mengamalkan agama Allah (Islam), serta menguatkan kepercayaan para mu’min tentang datangnya pertolongan Allah dan kehancurang orang-orang yang sesat.
  3. Menyibak kebohongan para Ahli Kitab dengan hujjah yang membenarkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka tentang isi kitab mereka sendiri sebelum kitab tersebut diubah dan diganti seperti firman Allah;
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan[212]. Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), Maka bawalah Taurat itu, lalu Bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Ali Imran: 93),
4.   Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya,
5.   Menampakkan kebenaran Muhammad saw dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi,
6.    Kisah merupakan salah bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf:111).
Dengan bahasa yang berbeda dan hampir sama substansinya bahwa menurut Sayyid Qutub  tujuan kisah Qur’ani adalah:
a. Untuk menegaskan bahwa Qur’an merupakan wahyu Allah dan Muhammad saw benar-benar utusanNya yang dalam keadaan tidak mengerti baca dan tulis,
b. Untuk menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para rasul dan nabi semenjak Nabi Nuh a.s. sampai Muhammad saw bersumber dari Allah swt   dan semua orang mukmin adalah umat yang satu, dan Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat (QS. Al-Anbiya’:48 dan 92),
48. Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
92. Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.
c.   Untuk menerangkan bahwa dasar agama yang bersumber dari Allah swt, sama-sama memiliki asas yang sama. Oleh karena itu pengulangan dasar-dasar kepercayaan selalu diulang-ulang,  yaitu mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa (QS. Al-A’raf:59, 65, dan 73),
59. Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).
65. Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”
73. Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shaleh. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. unta betina Allah Ini menjadi tanda bagimu, Maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.”
d.   Untuk menunjukkan bahwa misi para nabi itu dalam berdakwah sama dan sambutan dari kaumnya hampir sama juga, dan agama yang dibawapun dari sumber yang sama yakni dari Allah swt (QS. Hud: 25, 50, 60 dan 62),
e.   Untuk menjelaskan bahwa antara agama Nabi Muhammad saw dan nabi Ibrahim a.s. khususnya dan dengan agama Bani Israil pada umumnya terdapat kesamaan dasar serta memiliki kaitan yang kuat (QS. Al-A’la: 18, 19 dan an-Najm: 36 dan 37),
f.    Untuk menjelaskan bahwa Allah swt selalu bersama nabiNya, dan menghukum orang-orang yang mendustakan kenabianNya (QS. Al-Ankabut:14-16 dan 24),
g.   Untuk menguatkan adanya kabar gembira dan siksaan di hari akhir (QS. Al-Hijr: 49-50),
h.   Untuk menjelaskan nikmat Allah swt terhadap para nabi  dan semua pilihannya (QS. An-Naml:15 tentang nabi Daud; Hud:69, Al-Hijr:51, Maryam:41, Syu’ara:69 menceritakan tentang nabi Ibrahim; Maryam:2 tentang nabi Zakariya a.s.; Yunus:98 tentang nabi Yunus Al-A’raf:103, Yunus:75, Hud:96, Al-Kahfi:60, Thoha:15, Syu’ara:10 tentang nabi Musa a.s.; Maryam: 16-40 tentang Maryam,
i.    Sebagai peringatan bagi manusia untuk waspada terhadap godaan-godoaan setan dan  manusia semenjak nabi Adam a.s. selalu bermusuhan, dan menjadi musuh abadi bagi manusia,
j.    Untuk menerangkan akan kekuasaan Allah swt atas peristiwa-peristiwa yang luar biasa, yang tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia (QS. Al-Baqarah:258-259).
258.  Apakah kamu tidak memperhatikan orang[163] yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) Karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”.[164]Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
259.  Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala Telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
2.6  Gaya Penuturan Kisah dalam al-Qur’an
Dalam penyajian kisah al-Qur’an, tema, teknik pemaparan, dan setting peristiwa senantiasa tunduk pada tujuan keagamaan tanpa meninggalkan karakteristik seni. Dengan demikian kisah dalam al-Qur’an merupakan paduan antara aspek seni dan aspek keagamaan.
a.   Gaya Narasi
Gaya penuturan kisah dalam al-Qur’an pada umumnya menggunakan gaya narasi. Gaya ini mendorong pembaca atau pendengar agar memperhatikan cerita yang para pelakunya telah  tiada, namun seolah para pelaku itu dimunculkan kembali.
Berikut adalah beberapa variasi pemaparan gaya narasi kisah Nabi Ibrahim:
i     Gaya pemaparan berawal dari kesimpulan kemudian diikuti uraian kisah sebagaimana versi QS. Maryam (19): 41-49.
ii    Gaya pemaparan berawal dari klimaks, sebagaimana versi QS. Hud (11) : 69-75.
iii Gaya pemaparan dramatik, yaitu kisah disusun seperti adegan-adegan drama, sebagaimana versi QS. Al-Baqarah (2) : 258.
iv  Gaya pemaparan kisah tanpa diawali pendahuluan, tetapi langsung pada rincian kisah,sebagaimana versi QS. Al-An’am (6) : 74-84 dan 161.
v  Gaya pemaparan kisah yang diawali pendahuluan. Kata-kata yang digunakan sebagai pendahuluan dalam pemaparan kisah al-Qur’an sangat beragam, seperti :
wa idz yang diikuti fi’l madhi seperti QS.al-Baqarah 124
a lam tara, hal ataka, seperti dalam QS al-Baqarah (2) : 258 dan adz-Dzariyat (51): 24
maa kaana seperti QS.ali Imron (3) : 67,
-  dan masih ada beberapa kata pembuka lainnya
b.   Gaya Dialog
Kisah-kisah dalam al-Qur’an sering ditampilkan dalam konteks dialog sehingga lafal-lafal qaala, qaaluu, qaalat, qulnaa, yaaquuluu, yaquuluun, seringkali kita temukan.Dialog dalam kisah al-Qur’an dapat menggambarkan kepribadian pelakunya, yakni dengan memperhatikan cara pengungkapan bisikan jiwa, pendapat, dan sikapnya tatkala terjadi perselisihan di anatara mereka.
Dalam pengembangan metode bercerita, dialog merupakan unsur penentu menariktidaknya dan hidup-matinya cerita, terlebih cerita untuk anak-anak. Percakapan tokoh memicu imajinasi anak akan karakter tokoh dan tingkah lakunya.
c.   Gaya Repetisi
Ada di antara kisah-kisah al-Qur’an yang hanya disebutkan satu kali saja seperti kisah Luqman dan Ash-habul Kahf. Ada pula yang disebutkan berulang kali sesuai dengan kebutuhan dan maslahat. Pengulangan ini pun tidak dalam satu aspek, tetapi berbeda dari aspek panjang dan pendek, lembut dan keras serta penyebutan sebagian aspek lain dari kisah itu di satu tempat namun tidak disebutkan di tempat lainnya.
Menurut Manna’ Khalil al-Qattan dalam Mabahis fi ‘Ulumil Quran menyebutkan, di antara hikmah diulang-ulangnya kisah dalam Al-Qur’an adalah:
  1. Menjelaskan ke-balaghah-an Al-Qur’an. Sebab di antara keistimewaan balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan saat membacanya di tempat lain.
  2. Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah.
  3. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian.
  4. Perbedaan tujuan yang karena kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan. Sedangkan makna-makna lain-nya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.

2.7 Pengaruh kisah – kisah alquran dalam pendidikan
            Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan digemari dan  dapat menembus relung jiwa manusia dengan mudah sehingga segenap perasaan  akan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal. Akal pun dapat menelusurinya  dengan baik. Akhirnya ia memetik dari keindahan itu aneka ragam “ bunga dan buah-buahan “.
            Pelajaran yang disampaikan dengan metode khutbah dan ceramah akan menimbulkan kebosanan. Seseorang yang masih muda dan baru berkembang akankesulitan menangkapnya. Oleh karena itu, narasi kisah sangat bermanfaat dan mengandung banyak faedah. Pada umumnya, anak-anak suka mendengarkan cerita-cerita. Biasanya ingetannya lebih cepat menampung sesuatu yang diriwayatkan(diceritakan) kepadanya, seanjutnya ia dapat menirukan dan mengisahkannya.
            Inilah fenomena fitrah jiwa yang tentunya perlu mendapat perhatian para pendidik dalam lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan esensi pengajaran dan rambu-rambu pendidikan.
            Dalam kisah-kisah alquran terdapat banyak lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya, sepertipola hidup para nabi, berita-berita tentang umat terdahulu, sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal ihwal bangsa-bangsa. Semua itu dikatakan dengan benar dan jujur. para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah alquran itu dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam segala tingkatan. Sejumlah kisah keagamaan yang disusun oleh Sayyid Quthb dan Ustadz As-Sahr telah berhasil memberikan bekal bermanfaat dan berguna bagi anak-anak kita, dengan keberhasilan yang tiada bandingnya. Demikian pula Al-jarim telah menyajikan kisah-kisah alquran dengan gaya sastra yang indah dan tinggi, serta lebih banyak analisis mendalam. Alangkah baiknya andai kata orang lain pun mengikuti dan meneruskan metode pendidikan.



 


BAB 111
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
  1. Al-Qur’an sebagai kitab hukum utama umat Islam telah mengundang decak kekaguman dari kalangan ummat Islam maupun non-muslim, dikarenakan kesempurnaan dalam segala aspek, baik teks maupun konteks.
  2. Kisah (cerita) di dalam al-Qur’an terdapat dalam 35 surat dan 1.600 ayat. Tak mengherankan jika kemudian Allah menyebut al-Qur’an sebagai kumpulan cerita terbaik. Sayangnya perhatian ummat Islam terhadap kajian ayat-ayat yang berisi kisah belum sebesar pada ayat-ayat hukum, teologi dan lainnya.
  3. Sebagai sebuah kitab suci, Al-Qur’an memuat kisah-kisah yang jauh dari dusta dan cela, serta mustahil bercampur dengannya sifat batil. Al-Qur’an bukan kitab sastra semata, yang dicipta berdasar imajinasi dan rekontruksi pikiran manusia, sabagaimana yang dituduhkan kelompok-kelompok anti Islam.
  4. Salah satu keindahan al-Qur’an tampak dalam gaya penuturannya yang kaya dan menginspirasi hingga era kekinian. Gaya penuturan kisah al-Qur’an secara garis besar terbagi dalam bentuk narasi, dialog, dan repetisi.
  5. Cerita diyakini menjadi salah satu metode terbaik dalam mendidik karakter-kepribadian manusia terutama ana-anak. Kisah-ksah dalam al-Qur’an bila digali secara kreatif dan mendalam akan memberikan nilai tambah dalam pendidikan anak usia dini. Para ahli sepakat akan luasnya manfaat yang bisa diambil melalui kisah/cerita untuk pendidikan anak usia dini.

Comments

Post a Comment