Pemikiran Theologhi/Teologi Al-Asy'ari


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran  kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna harfiah, dan banyak memakai  arti majazi dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Sebaliknya, pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik  dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.
Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah sebaliknya, terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan kata lain  Mu’tazilah membaca yang tersurat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.
Asy’ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1 ½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mu’tazilah, tetapi kadang juga melawan naqliyyin (tekstualis) yang diwakili oleh Salaf ekstrim dari kalangan Hanabilah dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi Negara di dunia Sunni yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi social-politik.
Pada akhir abad ke-3 H muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Mereka bersatu dalam melakukan bantahan  terhadap Mu’tazilah, meskipun sedikit banyak mereka mempunyai perbedaan.
Al-Asy’ari dilahirkan di Bashrah pada tahun 260 H dan wafat pada tahun ± 330 H. Ia mempelajari ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah Abu ‘Ali al-Jubba’I. Karena kemahirannya, ia selalu mewakili gurunya dalam berdiskusi. Meskipun begitu, pada perkembangan selanjutnya ia menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah. Selanjutnya ia condong kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis, padahal ia sama sekali tidak pernah mengikuti majelis mereka dan tidak pernah mempelajari ‘aqidah berdasarkan metode mereka.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa dalam perkembangan pemikiran Islam ada dua aliran yang mempunyai corak pemikiran yang kontradiktif. Aliran Muktazilah mempunyai pemikiran bercorak rasional atau pemikiran yang bertumpu pada logika, sedangkan aliran  al-Asy’ariah mempunyai pemikiran bercorak tradisional, dan aliran ini muncul sebagai sanggahan atas pemikiran Mu’tazilah.  Abu al-Hasan al-Asy’ari sebagai penggagas dan pendiri aliran al-Asy’ari ini pada mulanya adalah pengikut setia ajaran Mu’tazilah, namun karena disebabkan beberapa hal yang bertentangan dengan hati nurani, pemikirannya dan kondisi social masyarakat (ia merasa perlu meninggalkan ajaran itu) di zaman itu yang menyebabkan ia berpaling meninggalkan ajaran Mu’tazilah, dan bahkan memunculkan aliran teologi baru sebagai reaksi perlawanan terhadap ajaran Mu’tazilah, ini akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pembahasan makalah ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan,  yaitu :
1.      Sejarah timbulnya aliran Al-Asy’ariah
2.      Abu Hasan al-Asy’ari (Biografi dan Karya-karyanya) dan tokoh lain.
3.      Pokok-pokok ajarannya.

1.3  Tujuan Pembahasan
1.      Memahami sejarah lahirnya aliran Al-Asy’ariah
2.      Mengetahui biografi dan karya-karya pendiri aliran Al-Asy’ariyah yakni Abu Hasan al-Asy’ari dan tokoh-tokoh lain.
3.      Mengetahui dan memahami pokok-pokok ajaran Al-Asy’ariyah.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Timbulnya Aliran Al-Asy’ariah.
Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran al-Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :
Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang bisaa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya   al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah
kisah perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”.  Di sinilah al-Jubba’iy terpaksa diam.
Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengangkat diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana ia kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara lain. Al-Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut : “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.
Pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun serangan Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhaddtisin semakin gencar. Tak seorang pun para fiqh yang populer dan pakar hadis yang masyhur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-Mihnah (inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli hadis yang bertakwa.
Politik kekerasan yang ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun meninggal tahun 833 M, bahkan akhirnya paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan oleh Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 856 M. Sejak itu, kaum Mu’tazilah kembali pada posisinya semula, menjadi lemah, bahkan menghadapi lawan-lawan yang tiada sedikit dari Islam. Tentu saja lawan yang paling keras dihadapinya ialah golongan Hanbaliy, pengikut dari imam yang pernah menjadi korban mihnah  di zaman  al-Ma’mun. Perlawanan dari golongan ini akhirnya mengambil bentuk aliran teologi baru yang bertumpu secara tekstual pada sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi dan sahabat-sahabatnya. Aliran ini kemudian dikenal dengan aliran tradisional dengan sebutan Ahl  al-Sunnah, atau Asy’ariyah.
Sekarang timbul persoalan, apa sesungguhya yang menyebabkan al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah? Rasanya tidaklah mungkin al-Asy’ari yang pernah menganut Mu’tazilah puluhan tahun dan menjadi juru debatnya, tiba-tiba meninggalkan aliran itu hanya karena tidak puasnya menerima jawaban al-Jubba’iy. Patut kiranya dipertimbangkan jika dalam hal ini Harun Nasution menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berpikirnya. Apalagi ketika itu Mu’tazilah telah berada kembali pada posisi lemah, sebaliknya Ibn Hanbal dan para pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin kuat di bawah lindungan penguasa baru Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil. Dengan kata lain, mungkin saja al-Asy’ari melihat betapa bahayanya jika umat Islam dibiarkan   hidup tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti teologi Mu’tazilah yang telah ditinggalkan itu.
Kemungkinan lain juga mungkin disebabkan seperti pendapat berikut bahwa :
Sebagai seorang muslim yang gairah akan keutuhan umat muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist (al-hasywiah-the gross anthropomorphist  of some of the traditionalist) yang hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya yang hamper menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.
Secara faktual hal ini juga disebabkan adanya inkuisisi pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang memicu kebencian sebagian besar umat Islam kala itu terhadap orang-orang Mu’tazilah.
Adanya al-mihnah yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap kelompok lain yang tak sepaham dengannya, ternyata menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan aliran Mu’tazilah selanjutnya. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain. Setelah adanya peristiwa ini kaum Mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti, dan menyebabkan timbulnya aliran oposisi yang kuat dan siap sedia untuk menciptakan alasan guna memojokkan kaum Mu’tazilah. Perlawanan tersebut kemudian mengambil bentuk aliran teologi baru yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.935 M). Dia menghabiskan waktunya untuk berdebat melawan teori-teori Mu’tazilah, mempertahankan keyakinan barunya, dan menggunakan senjata yang sama dengan Mu’tazilah_yaitu pembuktian melalui akal, yang sangat tidak disukai oleh mazhab Hanbali. Pada hakikatnya al-Asy’ari mengambil jalan tengah di antara dua titik ekstrem yang sangat mengandalkan akal, seperti para pengikut Ibn Hanbal.
Meskipun demikian al-Asy’ari tetap mengaku sebagai pengikut Hanbali. Dalam tulisannya, dia berkata, “Ucapan kami yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, riwayat sahabat, tabi’in, dan para imam hadis. Kami sangat memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan oleh Ibn Hanbal (semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, meninggikan kedudukannya). Orang-orang yang menentang pendapatnya menjauh, karena itu adalah imam yang memiliki kelebihan, sempurna, dan diberi kebenaran oleh Allah swt, ketika muncul kesesatan.”
Berdasarkan uraian di atas, penulis mempunyai pemikiran bahwa latar belakang timbulnya aliran al-Asy’ariah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain yang paling krusial kekhawatiran Abu al-Hasan al-Asy’ari bahwa al-Quran dan Hadis Nabi akan diabaikan oleh umat Islam.  Kemudian dalam pengembaraan dan pengalaman spiritualnya tidak menutup kemungkinan telah menemukan kebenaran yang hakiki yang terpancar dalam hatinya, ketika hal itu telah ditemukan yang menurut dia itulah suatu kebenaran yang harus dimunculkan kepada umat Islam kala itu.

2.2   Biografi dan Karya Abu al-Hasan al-Asy’ari
Dalam Shorter Encyclopaedia of Islam karya H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers disebutkan bahwa “Al-Asy’ari, Abu al-Hasan, famous theologian, born at Basra in the year 260 H / 873 M. The complete genealogy is : Ali b. Ismail b. Ishak b. Salim b. Ismail b. Abd. Allah b. Musa b. Bilal b. Abi Burda. Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah “Ali bin Ismail bin Basyr Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal Abi Bardah bin Abdullah bin Abi Musa al-Asy’ari.
Adapun masa hidupnya, al-Asy’ari terlahir pada tahun 260 H  (873 M) dan wafat pada tahun 524 H (935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun Qomariyah/Hijriyah atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi.
Kehidupan al-Asy’ari kesil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada umumnya. Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya, Ismail. Dan ibunya kemudian dipersunting oleh Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh kenamaan Mu’tazilah. Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asy’ari dididik dan dibesarkan.
Seorang ahli hukum Islam (fiqih) terkenal, pemuka teolog Islam dan pendiri aliran Asy’ariyah. Ia mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi s.a.w, yaitu Abu Musa al-Asy’ari r.a yang banyak meriwayatkan hadis beliau. Pada bidang teologi beliau banyak berguru pada Ali al-Jubbai; demikian juga beliau belajar fiqhi Syafi’i kepada seorang faqih yaitu Abu Ishak al-Maruzi seorang tokoh Muktazilah di Basrah.
Adapun karya-karyanya, di antaranya beberapa judul yang  sampai kepada kita ialah :
1.               Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah (Dalam kitab ini memaparkan berbagai hal pokok keagamaan yang didasarkan pada pemikiran kalamnya dan kemudian menjadi acuan bagi kaum Sunni).
2.               Al-Luma’ (Kitab ini lebih menyoroti argumen-argumen lawan atau aliran kalam yang dianggapnya tidak benar, dan memberikan dalil-dalil naql (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta argumen akal yang relevan.
3.               Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin. (Pokok-pokok kitab ini menguraikan tentang bermacam-macam golongan Islam beserta pendapat masing-masing dan lebih merupakan kajian comparative (perbandingan). Sehingga terlihat jelas mana kelompok Alussunnah Waljamaah berada).

2.3  Pokok-Pokok Ajaran al-Asy’ariah.
Formulasi pemikiran al-Asy’ariah, secara essensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu sisi dan Muktazilah di sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualisasi formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Muktazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat dihindarinya.
a.       Zat dan Sifat Tuhan.
Menurut al-Asy’ari, Zat Tuhan tidak bisa disamakan dengan zat (esensi) makhluk. Maka apabila dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata wajh (muka), yad (tangan), dan ‘ain (mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan, seperti yang tersebut dalam ayat-ayat yang berbunyi :
QS. al-Rahman ayat 27 :
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
QS. al-Fath ayat 10 :
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah          di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
QS. at-Thuur ayat 48 :
“Dan Bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, Maka Sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri.”
tidak bisa disamakan dengan wajah, tangan, dan penglihatan manusia atau dengan apa yang ada pada makhluk-Nya. Hal itu bila kaifa (tidak bisa ditanyakan bagaimananya).
Nama-nama Allah tidak dapat disebut bukan Allah, dan Allah swt yang mempunyai Ilmu, Mendengar dan Melihat merupakan sifat yang ditetapkan kepada-Nya, dan tidak dapat dinafikan dari-Nya.
Jadi menurut al-Asy’ari, Allah tidak memiliki tangan, wajah, singgasana dalam bentuk materil_seperti kata Ahlussunnah_meskipun hal ini berbeda dengan yang ada pada makhluk. Namun menurutnya seorang muslim wajib mengimani bahwa Allah memiliki tangan, wajah dan singgasana tanpa usah bertanya-tanya bagaimana adanya sifat-sifat ini bagi Allah.


b.      Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia.
Menurut al-Asy’ari, Kekuasaan Tuhan (predestination) adalah mutlak. Dia Mutlak Berkehendak dan Berbuat. Maka tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan Kehendak-Nya dan Kekuasaan Mutlak-Nya. Dengan demikian, maka perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh manusia itu sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu, manusia memiliki andil yang disebut Kasb (usaha).
       Perbuatan manusia menurut al-Asy’ari disebut al-Kasb dan tidak ada fi’il bagi kasb kecuali Allah. Demikian juga tidak ada khaliq kecuali Allah. Tidak ada orang yang mampu menciptakan secara hakiki kecuali Allah. Perbuatan mesti fa’il secara hakiki. Karenanya, Kasbi mestilah dari muktasib yang memberi kasb secara hakiki. Perbuatan baik seperti iman, dan perbuatan jahat seperti kufur, sebenarnya Allah yang menciptakannya.
       Tampaknya al-Asy’ari ingin mengkompromikan antara paham Qadariah dan Jabariah tentang perbuatan manusia, usaha mengkompromikan ini dikenal dengan konsep “al-kasb”.
       Berdasarkan teori ini mereka memandang bahwa perbuatan manusia baik yang dilakukannya secara terpaksa atau atas ikhtiarnya adalah ciptaan Allah, qudrat manusia tidak bisa memberikan pengaruh pada perbuatannya, tetapi ia memiliki apa yang disebut Kasb yang selalu mengiringi qudrat yang terjadi pada manusia untuk perbuatan tanpa ada pengaruh pada qudrat itu.
c.       Kalam Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Tuhan ini  dibedakannya menjadi dua, yakni adanya Kalam Nafsi dan kalam Lafzi Kalam Nafsi adalah kalam dalam artian abstrak, ada pada Zat (Diri) Tuhan. Ia bersifat qadim dan azali serta tidak berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah makhluk. Sedangkan kalam Lafzii adalah kalam dalam artian sebenarnya (hakiki). Ia dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam dalam artian ini bersifat hadis (baru) dan termasuk makhluk.
d.      Tentang Ru’yah kepada Tuhan.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang ru’yah kepada Tuhan (melihat Tuhan di Akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena Tuhan berfirman dalam QS. al-Qiyamah ayat 22-23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (23) Kepada Tuhannyalah mereka Melihat(24).”
Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihat-Nya pada hari kiamat dengan mata kepala adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada.
       Pada hari kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan oleh orang kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya. Musa pernah meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat di dunia, sebaliknya di akhirat dapat.
e.       Tentang Pelaku Dosa Besar.
Tentang pelaku dosa besar, pemikiran al-Asy’ari terlihat jelas penolakannya terhadap pemikiran kalam Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang berdosa besar dan mati sebelum bertobat nasuha ia kekal di neraka. Menurut al-Asy’ari, pendapat Mu’tazilah yang demikian itu jelas-jelas bertentangan dengan al-Sunnah serta hak pengampunan Tuhan. Dalam keterangan beberapa al-Sunnah, dinyatakan bahwa kalaupun berdosa besar, selama di hatinya masih ada iman, seseorang tidak kekal di neraka. Dan dalam keterangan beberapa ayat al-Qur’an, ditegaskan bahwa hanya orang-orang yang musyrik dan kafirlah kekal di neraka.
       Imam Asy’ari tidak mengkafirkan seorang muslim atau dosa yang telah diperbuatnya, seperti zina, mencuri, dan minum khamer, karena orang yang melakukan dosa besar tersebut pasti meyakini dan percaya bahwa sebenarnya perbuatan yang dilakukannya merupakan perb uatan haram.
       Sementara itu Tuhan adalah berkuasa dan Berkehendak Mutlak. Sehingga menjadi hak mutlak-Nya pula untuk mengampuni atau tidaknya dosa para hamba-Nya yang beriman. Sehubungan dengan ini, maka yang pasti, menurut al-Asy’ari, pelaku dosa besar yang beriman tidaklah kekal di neraka. Yang kekal di neraka haruslah orang musyrik dan kafir. Dan berkaitan dengan pengampunan Tuhan, maka terserah Dia, apakah dosa besarnya itu diampuni langsung masuk surga, ataukah disiksa terlebih dahulu di neraka, kemudian diampuni dan dimasukkan ke surga; hal ini mutlakl urusan Tuhan.
       Menyangkut masalah Kekuasaan Tuhan Beliau berpendapat bahwa tidak ada sesuatupun  yang bias menghalangi kekuasaan Tuhan dan menolak keberadaan dari semua penyebab. Kalau siang mengikuti malam, maka itu hanya karena Tuhan dengan kasih-Nya memudahkan pengulangannya. Dalam hal ini tidak ada kekekalan. Tuhan menciptakan dunia baru setiap saat. Meskipun beliau menerima takdir yang telah ditentukan sebelumnya, namun beliau juga memakai konsep “perolehan” (kasb), yang akan membuat manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
       Beberapa pandangan Imam Al-Asy’ari tentang pertanyaan kubur dan masalah gaib, telaga kautsar, dan syafa’at Nabi Saw. ;
1)      Pertanyaan Kubur Dan Masalah Gaib
Dan aku (Al-Asy’ari) meyakini adanya Dajjal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah Saw. bahwa meyakini adanya malaikat siksa kubur serta adanya Munkar dan Nakir yang menanyakan orang-orang mati di dalam kuburnya. Aku (Al-Asy’ari) membenarkan hadits tentang Isra’ dan Mi’raj dan mengabsahkan kebenaran sebagian takwil mimpi, di mana sebagian dari mimpi-mimpi itu memiliki penakwilan yang benar. Bahkan aku membenarkan sedekah serta doa bagi orang-orang Muslim yang telah meninggal dunia. Sebab Allah Swt. niscaya memberi manfaat dengan semua itu. Aku pun membenarkan bahwa di di dunia ini memang ada sihir dan tukang sihirnya dan Aku (Al-Asy’ari) pun mewajibkan shalat jenazah bagi seseorang Muslim yang telah meninggal dunia, baik dia itu saleh maupun tidak, bahkan aku membenarkan pembagian harta warisannya.
Surga dan neraka itu makhluk ciptaan Allah Swt. dan orang-orang yang meninggal dunia ataupun terbunuh itu menerima takdirnya berdasarkan suatu ketentuan yang pasti. Bahkan tentang rezeki yang halal ataupun yang diperoleh manusia, itu berasal dari Allah Swt. jua dan berbeda anggapan kaum Mu’tazilah atau Jahamiyah, aku mengetahui bahwa setan mampu menghasut dan menyeret manusia agar ragu-ragu, sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (QS.Al-Baqarah:275)
“Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia”. (QS.An-Nas:4-6)
Golongan Mu’tazilah tidak mengakui adanya azab kubur. Padahal masalah ini banyak keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Saw.
“Dari sahabat Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Kami berlindung kepada Allah dari siksaan kubur”. (Al-Hadits)
Allah Swt. berfirman:
“Kepada Fir'aun dan pembesar-pembesar kaumnya, Maka mereka ini takbur dan mereka adalah orang-orang yang sombong”. (QS. Al-Mu’minun:46)
Anas bin Malik meriwayatkan hadits, bahwa Nabi Swt. bersabda:
“Kalau tidaklah kamu akan saling kubur-mengubur, niscaya aku memohonkan kepada Allah agar Dia memperdengarkan azab kubur kepadamu, sebagaimana Dia telah memperdengarkannya kepadaku”. (Al-Hadits)
Allah Swt. menjelaskan bahwa orang yang mati syahid di dunia akan memperoleh rezeki dan gembira di akhirat.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu benar-benar mati, tetapi mereka tetap hidup di sisi Tuhannya dengan memperoleh rezeki. Mereka gembira ria karena karunia Allah yang diberikan yang diberikan-Nya kepada mereka, bahkan pun bersenang hati terhadap orang-orang yang masih tertinggal di belakangnya, yang belum menyusul mereka, yang mereka tidaklah khawatir terhadap mereka dan tidaklah mereka bersedih hati”. (QS. Ali Imran:169-170)
2)      Telaga Kautsar
Orang-orang Mu’tazilah tidak mengakui adanya telaga kautsar. Padahal masalah ini terdapat pada keterangan dari ayat, hadits dan riwayat sahabat. Di antaranya:
“Dan Ahmad bin Hamdillah bin Yunus meriwayatkan bahwa telah menceritakan kepada kami, Ibnu Zaidah dari Abdul Malik bin Umair dari Jundah Ibnu Sufyan berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Aku (Nabi) tinggalkan untuk kalian telaga kautsar dalam berbagai berita yang banyak”. (Al-Hadits)
3)      Syafaat Nabi Saw.
Orang-orang yang bertauhid serta orang-orang Mukmin itu mesti masuk surga ataupun neraka, kecuali mereka yang benar-benar telah diberi kesaksian oleh Rasulullah Saw. Aku (Al-Asy’ari) tetap memohon kiranya orang-orang Muslim yang berdosa dapat memasuki surga, sebab aku sangat mengkhawatirkan seandainya mereka mendapat siksaan neraka. Tetapi Allah Swt. niscaya mengeluarkan orang-orang Mukmin dari neraka. Tetapi Allah Swt niscaya mengeluarkan orang-orang Mukmin dari neraka, setelah mereka diberi syafa’at oleh Rasulullah Swt. sebagaimana hadits-hadits riwayat yang disampaikan dari beliau sendiri. Aku (Al-Asy’ari) pun yakin bahwa siksa kubur syar itu benar, bahwa timbangan seta kebangkitan alam mah (al-mizan) serta jalan (as-shirat) itu benar, begitu pun kebangkitan kubur setelah mati itu benar, di mana setelah itu Allah Swt. menempatkan orang-orang Mukmin di suatu tempat pengadilan.
Sebagaimana syafaat itu tidak hanya bagi orang-orang Mukmin yang digembirakan dan dijanjikan surga, dan orang-orang yang berdosa.
Imam Al-Asy’ari berpijak pada hadits berikut:
“Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Syafa’at Nabi Saw. diperuntukkan bagi orang-orang yang berdosa besar. Dan menurut riwayat yang lain bahwa orang-orang berdosa itu pada satu waktu kelak dan akan dikeluarkan dari neraka”.
Golongan Syi’ah Imamiyah dan Mu’tazilah memperdebatkan masalah syafa’at dan Al-Asy’ari bersikap moderat.
“Hubungan dengan syafa’at, golongan Syi’ah Imamiyah berpendapat: Sesungguhnya bagi Rasulullah Saw. itu memiliki syafa’at, dan demikian juga imam-imam (pemimpin-pemimpin Syi’ah) itu dianggapnya memiliki syafa’at. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada syafa’at bagi seseorang. Imam Al-Asy’ari menempuh jalan tengah. Dia berpendapat bahwa sesungguhnya bagi Rasulullah saw. itu memiliki syafa’at yang diterima oleh orang-orang Mukmin yang menerima siksaan. Rasulullah Saw. memberi syafa’at kepada mereka atas perintah dan izin Allah. Dan tidak memberi syafa’at melainkan bagi orang yang memperoleh keridhaan-Nya, seperti para Rasul as. Semuanya”.
Sesungguhnya, keimanan itu ialah sesuatu yang bisa bertambah ataupun berkurang, bisa naik dan bisa turun. Dalam hal ini berdasarkan pada hadits-hadits yang shahih. Dan aku (Al-Asy’ari) pun yakin bahwa kecintaan (mahabbah) para ulama salaf itu, yang telah dipilih Allah Swt. begitu begitu besarnya terhadap para sahabat Nabi Saw. mereka itulah orang-orang yang beliau sanjung, sebagaimana Allah Swt. menyanjung mereka; dan aku (Al-Asy’ari) pun selalu mengikuti pandangan-pandangan mereka itu.
Berdasarkan uraian di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari mempunyai pokok-pokok ajaran yang menekankan kepada konsep pemikiran tentang Zat (esensi) Allah swt yang merupakan sifat-sifat yang melekat pada zat Allah. Al-Asy’ari mengakui eksistensi sifat-sifat Allah seperti yang termaktub dalam  al-Qur’an (Asmaul Husna), namun dalam pemikirannya, sifat-sifat tersebut tidak bias disamakan dengan sifat-sifat yang ada pada makhluknya karena Allah berbeda dengan makhluk, tak sesuatupun yang menyerupai-Nya.
Tentang Perbuatan Tuhan dan kebebasan manusia berbuat dikenal dengan teori kasb. Al-Asy’ari juga meyakini bahwa kalam Allah itu terdiri dari dua; kalam Nafzi dan kalam Lafzi. Kalam Nafzi itu ada pada diri Allah yang bersifat qadim dan azali, dan ini bukan makhluk. Sedangkan kalam Lafzi adalah susunan huruf, bunyi yang disuarakan ketika kita membaca al-Qur’an, itulah yang bersifat baru dikategorikan makhluk.
Menurut al-Asy’ari, orang-orang beriman itu dapat melihat Allah di akhirat, tapi di dunia mustahil, seperti cerita tentang Nabi Musa yang digambarkan tadi di atas. Tentang pelaku dosa besar, al-Asy’ari berpendapat bahwa; orang mukmin melakukan dosa besar selama  di hatinya masih ada iman akan mendapat pengampunan dari Allah.
Dari pembahasan tersebut maka kajian merupakan upaya memahami pemikiran besar teologi Imam Al-Asy’ari, sebagai pendekar paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sebagai orang yang semula mengikuti paham Mu’tazilah dan berguru langsung kepada Imam Abu Ali Al-Jubba’i, tentunya beliau paham benar terhadap ajaran-ajaran Mu’tazilah. Bahkan dia bukan hanya paham ajaran-ajaran Mu’tazilah saja yang sesat dan ditolaknya, tetapi juga ajaran-ajaran golongan-golongan Jahamiyah, Qodariyah, dan sebagainya.
Hal ini terdapat dalam keempat kitab karangannya: Maqalat Islamiyyin Wakhtilaf al-Mushollin, Kitab al Luma’ Fir Radd ‘Ala Ahliz-Zhaiqi Wal Bida’, Al-Ibanah ‘An Ushul al-Dinayah dan Risalah Ihtihsan al-Khaudhi Fi Ilm al-Kalam. Dengan demikian, corak pemikirannya disusun secara dialogis. Menyebutkan masalah lebih dahulu, kemudian dijawab dengan argumentasi-argumentasi rasional, lalu menyebut ayat Al-Qur’an atau al-Hadits yang berkaitan sebagai argumen.
Masalah yang dianggapnya penting sekali, Al-Asy’ari kemukakan beberapa argumentasi. Misalnya masalah rukyatullah, dengan panjang lebar dijelaskan sampai 12 alasan. Bahwa rukyatullah di dunia ini memang mustahil, itu jelas. Akan tetapi di akhirat kelak, rukyatullah itu mungkin bagi orang-orang yang beriman sebagai puncak nikmat surgawi.
Pola pemikirannya memang bercorak kompromis atau moderat, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Abduh.
“Dia berjalan di tempat yang dikenal tengah-tengah antara keyakinan orang-orang Salaf dan keyakinan orang-orang yang menentangnya”.
Kajian teologi memang normatif, filosofis, dan rumit. Kadang-kadang Imam Al-Asy’ari berhasil mengeliminasi suatu masalah, tetapi kadang-kadang agak larut condong ke dalam salah satu pendapat. Misalnya tentang qadar dan ikhtiar manusia, pada akhirnya dia agak condong ke paham Jabariyah. Sedangkan Imam Al-Maturidi, yang sama-sama pendekar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dalam masalah tersebut ternyata berbeda dengannya, agak condong ke pemikiran Qadariyah dan Mu’tazilah.
Memerhatikan corak pemikiran kaum muslimin dan termasuk di Indonesia mayritas mengikuti paham Imam Al-Asy’ari, antara lain berkat perjuangan gigih pengikut-pengikut untuk membela teologinya dari kalangan ulama-ulama terkemuka seperti Imam-Imam: Abu Bakar Al-Baqillani, Haramain Al-Juwaini, Asfarayini, Al-Ghazali dan Ar-Razi, maka penyebaran secara konkret pemikirannya itu dimulai, terutama atas dukungan Khalifah Al-Mutawakkil (847-861M) dari khalifah Bani Abbasiyah dan Nizham al-Muluk, Wazir Bani Saljuk, kemudian Wazir mendirikan Madrasah Nizhamiyah dan menjadikannya markas sentral penyebarluasan kalam Al-Asy’ari. Sejak waktu itu, maka posisi paham Al-Asy’ari telah mendominasi seluruh wilayah Bani Abbasiyah. Kejayaan Mu’tazilah tidak terlepas dari dukungan khilafah-khilafah Bani Abbasiyah, dan nyaris dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak, terutama masalah khalqul Qur’an yang mana banyak ulama-ulama yang ditangkap atau dipenjara karena tidak sepaham dengan Mu’tazilah. Penyebaran paham Al-Asy’ari tidak terlepas dari dukungan secara politis oleh khalifah Al-Mutawakkil  dan Wazir Nizham al-Muluk.
Kajian langsung terhadap pemikiran teologi Al-Asy’ari masih sangat perlu digalakkan, dengan cara melakukan kajian langsung terhadap kitab-kitab karangannya. Dengan demikian, orang akan paham benar corak teologinya itu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pengakuan sebagai pengikut paham sunni. Kenyataan yang ada bahwa selama ini kebanyakan orang hanya mencukupkan mempelajari teologi Asy’ariyah, belum langsung ke pemikiran Imam Al-Asy’ari itu sendiri. Masyarakat umumnya baru mempelajari kitab-kitab tauhid seperti: Akidatul Awam, Tijan al-Durari, As-Sanusi, Jawahir al-Kalamiyah, Kifayat al-Awam, Hushun al-Hamidiyah dan lain-lain.
Kiranya sudah tiba waktunya ada kelompok yang mulai mempelajari teologi-teologi non Al-Asy’ari, untuk memperlus khazanah dan wawasan di era globalisasi informasi seperti sekarang ini. Secara komparatif-muqaranah harus mulai dilakukan kajian-kajian terhadap pemikiran teologi: Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan terutama Syi’ah. Sejak adanya revolusoi di Iran di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, maka gaung paham Syi’ah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Karena kemenangan revolusi tersebut, berarti sebuah kemenangan bagi golongan Syi’ah Itsna ‘Asy’ariyah yang merupakan mazhab resmi Iran dan keberhasilan kaum penguasa Reza Pahlevi. Terbitan tentang Syi’ah telah membanjiri bursa buku dan lainnya yang bisa ditemukan secara mudah.
Di samping itu, sebagai orang Sunni seharusnya tidak hanya mengkaji teologi Al-Asy’ari saja, tetapi harus menggagas kajian terhadap teologi Imam Al-Maturidi. Nama lengkapnya Abu Mansur bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi, hidup 248-333H/862-944M. Di Samarkand, wilayah Uzbekistan. Dia memiliki karangan Kitab al-Tauhid, merupakan cerminan pokok pandangan teologinya.
Sekarang ini sudah tiba saatnya berani membuka dan membeberkan wacana baru dalam memahami dan menyebar luas paham Sunni, dengan cara menerabas langsung teks-teks aslinya, di samping komperatif terhadaf teologi non-Sunni.
Kajian-kajian model tersebut memang sudah banyak dilakukan atau sekurang-kurangnya dirintis pada program pascasarjana jurusan Studi Islam, namun hal itu belum menembus ke lembaga-lembaga Islam lainnya dan masyarakat. Harus ada upaya yang bisa menjembatani antara kelompok intelektual Muslim Studi Islam dengan kelompok kalangan pondok pesantren untuk membangun dinamika baru pemikiran keagamaan.




BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, penulis menarik suatu kesimpulan, bahwa  secara histories timbulnya aliran al-Asy’ariah disebabkan oleh karena kuatnya keinginan untuk kembali pada pemahaman yang semula yaitu pemikiran Ahlussunnah Waljamaah, tapi juga dalam pemikirannya al-Asy’ari masih menggunakan metode yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah, yaitu menggunakan kemampuan akal menganalisis nas-nas al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah selalu mengedepankan akal pikiran untuk memahami wahyu, berangkat dari akal kemudia wahyu. Tapi al-Asy’ari sebaliknya mengedepankan wahyu disbanding akal, menggunakan akal seperlunya saja. Sehingga tidak heran al-Asy’ari dalam pemikirannya selalu mengkompromikan pemahaman Ahlussunnah Waljammah dengan kaum rasionalis tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada setiap pokok-pokok pemikirannya.
3.2  Saran
Dalam memahami tentang teologi islam kita memang harus benar-benar bersikap netral agar tidak menimbulkan suatu pemikiran yang negatif terhadap aliran yang tidak sefaham dengan kita. Aliran Al-Asy’ariyah dalam doktrinnya memberikan alternatif jalan tengah untuk menghindari perpecahan agama dan kehancuran dalam hal akidah. Kita harus bisa memilah-milah mana yang baik dan yang tidak baik dari aliran tersebut.








DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi,  Pengantar Theology Islam. Cet.VII; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001.
A. Nasir, Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam).Jakarta:Rajawali Press,2010
Al-Asy’ari. Al-Imam Abul Hasan, Risalah lla Ahli Ats-Tsaghri, diterjemahkan oleh Muhammad Dawam Sukardi-Humavie, dengan judul: “Serat-serat Aqidah Ahlu as-Sunnah wal Jamaah”, Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Haq. Hamka, Dialog: Pemikiran Islam.  Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000.
Iskandar Al-Barsany. Noer, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljamaah. Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Madkour. Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam,  Penerjemah; Drs. Yudian Wahyudi Asmin. Bumi Aksara, t.th.
Yatim,. Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2006.

Comments