Makalah Perbedaan Muhkam dengan Mutasyabih

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang


Allah menurunkan Al’qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan untuk makhluk-makhlukNya itu satu akidah yang benar dan prinsip-prinsip ajaran yang lurus dalam ayat-ayat yang jelas dan tegas karakteristiknya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada Umat manusia, dimana Dia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama demi menyelamatkan akidah mereka dan menunjukkan jalan yang lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahamannya demi menyelamatkan umat islam dan menjaga eksistensinya. Dalam Al-Qur’an disebutkan,


كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ


“kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui.” (Fushshilat:3)


Adapun mengenai masalah-masalah cabang agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluan kepada para mujtahid yang ilmunya telah memadai untuk mengembalikan kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat parsial (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli).


B. Perumusan Masalah


Didalam makalah ini akan dibahas meliputi :

1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih secara umum dan khusus

2. Perbedaan pendapat dalam mengetahui mutasyabih

3. Kompromi dua pendapat dengan memahami makna Takwil

4. Takwil yang tercela


C. Manfaat Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Qur’an, penulis berharap makalah ini dapat membantu pembaca dalam memahami arti dari muhkam dan mutasyabih sehingga ilmu pengetahuan yang kita miliki semakin bertambah.




BAB II

PEMBAHASAN




A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Umum

Menurut bahasa, muhkam berasal dari kata-kata, “Hakamtu dabbah wa ahkamtu,” artinya saya menahan binatang itu. Kata al-hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka, hakim adalah orang yang mencegah kezaliman dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang haq dengan yang batil dan antara kejujuran dan kebohongan. Dikatakan, “Haka
mtu as-safih wa ahkamtuhu,” artinya saya memegang kedua tangannya. Juga dikatakan, “Hakamtu dabbah wa ahkamtuha,” artinya saya membuatkan ‘hikmah’ pada binatang itu. Hikmah disini maksudnya kendali yang dipasang pada leher, sebab ia berfungsi untuk mengendalikannya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas. “wa ihkam asy-syai”, artinya menguatkannya, dan muhkam berarti yang dikokoh-kan.


Ihkam Al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah , dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.


Dengan pengertian itulah Allah menyifti Al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,


الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ


“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,” (Hud:1)


الر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ


“Alif lam Ra’. Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah.” (Yunus:1)


“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam,” maksudnya yaitu seluruh kata-katanya kokoh, fasih dan membedakan antara yang haq dengan yang batil, serta antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-‘am atau makna muhkam secara umum.


Sedangkan Mutasyabih secara bahasa berarti tasayabuh, yakni bila satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara kongkrit maupun abstrak. Allah SWT berfirman,


وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا


“Dan mereka diberi yang serupa denganya.” (Al-Baqarah:25).


Maksudnya, sebagian buah-buahan surga itu serupa dengan sebagian yang lain karena adanaya kemiripan dalam hal warna, tidak dalam hal ras dan hakekat. Dikataka pula mutasyabih adalah mutamatsil (menyerupai) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.


Jadi, pernyataan “Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam” adalah dengan pengertian itqan (kookoh, indah), yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafazh-lafzhnya berbeda-beda.


B. Muhkam dan Mutasyabih secara Khusus

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih yang dimaknai secara khusus, sebagaimana dalam firman Allah,


هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا


“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami……." (Ali Imran: 7)


Khusus dalam masalah definisi muhkam dan mutasyabih , teradi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:


1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah diketahuimaksudnya oleh Allah sendiri.


2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu segi, sedangkan mutasyabih mengandung banyak segi.


3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak demikian; ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.


Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansukh, dan asma’ Allah dan sifat-sifatNya, antara lain:


“Ar-rahman itu bersemayam di atas Arsy.” (Thaha: 5)


“segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya.” (Al-Qashash: 88)


“Tangan Allah ada di atas tangan mereka.” (Al-Fath: 10)


“dan Dia-lah yang berkuasa di atas hamba-hamba-Nya.” (Al-An’am: 18).


Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya permulaan beberapa surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakekat Hari Kemudian serta pengetahuan tentang Hari Kiamat (ilmu as-sa’ah).


C. Perbedaan Pendapat dalam Mengetahui Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang definisi muhkam dan mutasyabih dalam maknanyasecara khusus, perbedaan pendapat juga terjadi dalam masalah ayat yang mutasyabih. Sumber perbedaan pendapat ini berpangkal pada masalah waqaf (berhenti) dalam ayat, “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah, war-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi.” Apakah kedudukan lafazh ini sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah,” ataukah ia ma’thuf?sedang lafazh “wa yaquluna” menjadi hal dan waqafnya pada lafazh “War-rasikhuna fil ‘ilmi.”


Pendapat pertama, mengatakan “isti’naf.” Pendapat ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan, antara lain dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca; “Wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa ar-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi.”


Pendapat kedua, menyatakan bahwa “wawu” sebagai huruf ‘athaf. Ini dipilih oleh segolong ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid.


Diriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Al-Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.”


Pendapat ini dipilih juga oleh An-Nawawi. Dalam Syarah Muslim-nya ia menegaskan, inilah pendapat yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.


D. Kompromi Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil

Dengan merujuk kepada makna takwil, maka akan jelas bahw antara kedua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:


1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajah) kepada makna yanglemah (marjuh) karena ada satu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.


2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami.


3. Takwil adalah pembicaraan tentang substansi (hakekat) suatu lafazh. Makaa, takwil tentang zat dan sifat-sifat Allah ialah tentang hakekat zat-Nya itu sendiri yang kudus dan hakekat sifat-sifatNya. Dan takwil tentang Hari Keudian yang diberitakan Allah adalah substansi yang ada pada Hari Kemudian itu sendiri. Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah; “Rasulullah mengucapkan di dalam ruku’ dan sujudnya, “Subhanaka Allahumma rabbana wa bi hamdika Allahummaghfirli.” Bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Al-Qur’an, yakni firman Allah,


“Fa sabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kana tawwaba.” (An-Nashr: 3)


Golongan yang berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah” dan menjadikan “war rasikhuna fil ‘ilmi,” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan, “takwil” dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakekat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakekat zat Allah, esensi-Nya, makna nama dan sifat-Nya serta hakekat Hari Kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.


Sebaliknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh “War rasikhuna fil ‘ilmi.” Dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf athaf, bukan isti’naf, memaknai kata takwil tersebut dengan makna kedua, yaitu tafsir, sebagaimana dikemukakan Mujahid, seorang ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini Ats-Tsauri berkata, “Jika dikatakan, ia mengetahui tafsirannya.”


Dengan pembahasan ini maka jelaslah bahwa pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil.


E. Takwil yang tercela

Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian, memalingkan lafazh dari makna rajah kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin (ulama belakangan) secara berlebihan, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah SWT dari keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka ke dalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lbih dari itu. Misalnya, ketika menakwilkan “tangan” (al-yad) dengan kekuasaan (al-qudrah). Maksud mereka adalah untuk menghindarkan penetapan “tangan” bagi khaliq mengingat makhluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafazh al-yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkanlah dengan al-qudrah. Hal ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhluk pun mempunyai kekuasaan, pula. Apabila qudrah yang mereka tetapkan itu btul dan mungkin, maka penetapan tangan bagi Allah pun tidaklah salah dan mungkin. Senaliknya, jika penetapan “tangan” dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan “kekuasaan” juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafazh ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.

Celaan terhadap para penakwil yang dating dari para ulama salaf dan lainnya itu ditunjukkan kepada mereka yang menakwilkan lafazh-lafazh yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demikian tidak kabur bagi orang lain.

Comments